Saya ingin Jujur :)

oke sekarang saya mau cerita sebuah perasaan yang seringkali hinggap sejak dahulu kala haha
yak, sejak masa sekolah pun terkadang kini. saya seringkali bersusah payah menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan. saya merasa memiliki dua dunia: satu sisi saya mestilah taat aturan Allah, memandangpun dengan kacamata Islam. Tapi di dunia yg satunya justru bertolak belakang, kita boleh sebut inilah dunia saat kini, dunia sekuler.

saya pahami lewat masyarakat, saya haruslah ikut acara-acara hang-out meski sampai malam atau malam keakraban atau apalah you named it kalau kamu ingin dibilang solid, menyatu dengan seluruh elemen kawan-kawanmu. bukan berarti saya tak menikmati, bukan bukan. saya ingin mengenal kawan-kawan saya semua, bahagia jika tak ada tabir antara hati kami untuk saling mendukung, tentu. hanya saja acara seperti ini selalu saja menyisakan rasa tak nyaman. ya itu tadi karena saya telah terbiasa didorong untuk memandang menggunakan kacamata Islam. seperti malam keakraban yang ahirnya berbuah duet-duet keakraban setelahnya, saya kurang nyaman menjadi bagian darinya meski sekedar penonton.

"Hak Asasi Manusia kaleee!" atau "Rempong amat sih lo!"
 nah perkataan sinis sejenis itulah kurang lebih yang biasa akan mampir kalau saya sampaikan pikiran ini. dan dulu saya takut dengan komentar-komentar demikian. saya sungguh khawatir kehilangan kebaikan hati kawan-kawan saya. maka terjadilah pembagian diri saya, pemisahan-pemisahan. Padahal mestinya itu peer saya sejak dulu untuk menjelaskan, ya kan? :)

pada akhirnya sesuatu sikap  yang tak sesuai pandangan hidupnya ya gagal juga, saya beberapakali terkena stempel,"sok idealis" atau "anak aneh" meski sehari-hari bergaul secara baik dan 'normal'. 
Di dunia yang pertama ya saya juga tidak bisa dibilang berhasil, bagaimana bisa mengkaji tanpa diaplikasikan? jadi, agama sekedar teori? ideologi sekedar tertanam di kepala, begitu? tanpa pernah mencoba memanennya lewat perbuatan?

padahal clash adalah suatu yg alamiah ketika sampaikan kebenaran. bukankah para nabi juga begitu? apalagi kalau hanya sekedar saya.

labil.
sampai-sampai dulu saya tumpahkan dalam puisi di bawah.

tapi tenang-tenang sekarang saya sudah berbenah, 
jangan khawatirkan sikap orang lain terhadapmu tapi khawatiri sikapmu pada orang lain. sempat bicarakan ini dengan seorang sahabat,"Tegas tapi ma'ruf. sederhana ya Fath."

kesalahan yang berulang-ulang memang bisa jadi terdengar seperti kebenaran, apalagi jika telah membudaya. jadi apa yang benar dan apa yang salah seperti terbalik. kamu akan asing sendiri jika jujur, misalnya, kamu akan ditemani dan didukung jika mengikuti suatu kebiasaan jelek beramai-ramai.

kemudian semua orang berseru,"Tak ada yang benar-tak ada yang salah. Benar itu relatif!"

mengutip perkataan seseorang,"Bukan! Kebenaran itu satu. menjadi berbeda ketika ditafsirkan masing-masing"
maka bukankah mestinya kita berpegang pada satu yang paten? yang terjamin kebenarannya?

pun satu perkataan guru mengena,"ketika kamu memilih menjadi baik contohnya, dan lingkunganmu tidak mau (dengan keras kepala) untuk berubah menjadi baik. ya relakan saja, lepaskan. percayalah komunitas baru yang baik akan memelukmu."

ini bukan ditulis untuk mendukung sikap uzlah, bukan.

:)
dan inilah sebait puisi soal tadi. 

Labil

19 Agustus 2011 pukul 22:11
sekonyong-konyong kesadaran itu mengguyurku.
persis asam sulfat yang melepuh lepuhi tubuh, pedih hingga ke ujung kuku -begitulah kelihatannya, bukan berarti aku pernah-
bulan oranye menatapku lekat, mengawasi jika tanda tanda laku binal menguar tersulut malam.
aku hanya sanggup meliriknya takut takut,
takut dia mengadu.
takut dia meludahiku dari atas situ.
takut sinar sinarnya berubah bentuk jadi belati, karena jika iya jadilah aku: sate bebek.
makhluk manapun pasti bertanya-jawab dalam hati, sebagian lain terang terangan menyorotiku sebuah tanya,"sedang apa di sini,beb?"
aku berpura pura biasa saja masuk kandang ayam.
padahal hatiku berkedut kedut ngeri dan khawatir,
orang orang-kalau para ayam bisa dibilang orang- bertanya padaku,
"siapa kamu?"
aku bertanya lagi,
"siapakah aku?"
sebelumnya angsa angsa putih cantik bak bidadari dari surga itu juga ragu aku di pihak mereka.
kelabilan membikin kesemuanya sepakat aku layak di kasta terendah.
sejujurnya aku benci begini, tidak putih tidak juga hitam. abu abu.

2 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Sudah Berubah hey!

kalau kalian mengikuti dari postingan awal di blog ini tentu kalian menganggap saya seperti remaja lainnya yg mabuk kepayang dan berpedih pedih karena cinta. wah saya ingin katakan satu hal,"setiap orang dapat berubah, dan ini pada giliranku untuk berubah ke arah yg lebih baik (in syaa Allah)." :)
jadi kalau bicarakan cinta-cinta receh ala remaja saya bakal bilang: 

"lidah saya sudah bukan lagi tempatnya omong-omong rindu.
hati telah mati dmasak paham, pikir telah larut diterkam ilmu. tak bercelah buat lelaki menyelip diri.
teruntuk kalian, silakan menyerah.
sana kejar mimpi dan persiapkan diri! 
buat karya dan terlibat sejarah, lebih baik sama sama perjuangkan suatu yg hakiki."

#intropeksi diri
#KhilafahIsTheSolution

:)

2 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Catatan yang Terserak

yah lagi iseng baca notes jadul saya di facebook, jadi terpikir untuk membaginya di sini. ini tulisan saya awal kelas 11 SMA, wah waktu cepat berlalu ya.. cekidot! :D
 
27 June 2010
ada seorang alumni atau ayah saya?entahlah, pernah berkata.. 
"dalam hidup ini apapun yg kita perbuat pasti bakalan menghasilkan 2 kemungkinan. apapun perbuatan itu, mau perbuatan baik ataupun buruk. nantinya pasti bakalan ada yg suka dan ada yg gasuka." 

nah ahir ahir ini,saya smakin ngerti apa maksud petuah itu.. bener banget ternyata, kalo kita melakukan sesuatu walaupun kita ga niat sedikit pun buat ga baik, tetep bakalan ada ga suka. misalnya aja, kamu menang lomba secara fair, jangan heran kalo trnyata bakalan ada yg protes dan mengatakan kamu curang.. atau dgn cara lain yg lebih 'halus' dan lazim. yaitu membicarakan kjelekan si kamu dibelakangnya, padahal sejatinya untuk menghibur diri sendiri yg kalah.

 itu yg pertama saya amati dari orang orang.

 pernah saya tanyakan pada ibu,"kenapa ko bisa ya orang kaya gitu? padahal seringnya dia itu temen sendiri atau orang yg friendly bgt deh ke kita?" lalu ibu menjawab, "sampe kamu tua, kerja, jadi ibu ibu atau bapa bapa juga orang kaya gitu pasti ada,nak.. yang penting adalah kalo yg kamu perbuat itu baik, jangan kalah sama omongan orang. biarkan saja..anggaplah angin lalu" hmm.. dari petuah petuah tadi saya tarik kesimpulan..

 1. berpikirlah sebelum melakukan sesuatu. karena suka ga suka ternyata orang lain 'peduli' sama apa yg kita perbuat.

 2. jadilah kafilah berlalu diantara anjing yg menggonggong nyaring disaat kamu melakukan sesuatu yg benar. jdilah orang yg konsisten karena ga semua rumor ttgmu itu benar,kan? bisa jadi awalnya fudul yg ga tuntas-haha- lalu dkembangkan jadi berita yg penuh argumen pribadi alias gosip.. stay cool aja kalo sewaktu waktu hal tsb kamu alami. toh ga bener,kan?haha,malah mestinya buktiin gosip itu mengada-ngada. lain lagi kalo emang bener, kamu kudu cepet cepet introspeksi diri.

 3. dengarkan nasihat orang tua

4. jangan suka ngeghibah apalagi fitnah. nanti bakal kerasa sendiri deh ruginya,cepat atau lambat. apalagi salah satu alasan ahli neraka itu kebanyakan wanita adalah karena mulutnya.. makanya Rasul anjurin kaum hawa buat banyak-banyak sedekah.

 ahaha tuh kan jd kemana mana, itu hasil penelitian zz saya staun ini, semoga bermanfaat.. :)

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Surat untuk Anakku

Sebenarnya, anakku, ketika ibumu menulis nasihat ini pikirannya sibuk bertanya-jawab ,’layak ataukah tak mencontoh gaya sebuah cerpen lawas sebagai nasihat kepadamu?’ sebagian dirinya menjawab,’sungguh tak tahu malu!  Itulah yang orang bilang plagiat!’ sebagian lain dari Ibu menyalak tak kalah sengit,’mencontoh hal baik kan tiada dosa, heh! Copy from the master! Bukannya kau sendiri yang kehabisan akal memuntahkan pengalaman dan ide ke dalam sebuah karya, sedang si Tuan Motinggo ini terus-terusan kau puji gayanya sampaikan tema? - Ah sudahlah! dengan mengetik ini sama artinya Ibu telah memutuskan untuk menasihatimu dengan cara begini, mirip tidaknya kelak bisa kau perbandingkan. 

Anakku, ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini tentu keadaan telah banyak berubah. Barangkali macam film-film  fiksi ilmiah yang laku di bioskop tuwentiwan dan eks-ekswan jaman Ibu remaja? Apakah banyak mobil-mobil beterbangan? Sudahkah engkau temukan semacam plester yang bisa menghangatkan makanan seperti yang Ibu suka andai-andai saat tinggal di asrama? Barangkali dunia di sana telah amat pikuk dengan modernitas gedung-gedung indah pencakar langit dan bunga dandelion sudah hidup  di pot-pot dalam rumah kaca akibat terlalu langka, ya nak?

Hari dimana ibu menulis surat untukmu, anakku, sebenarnya bukanlah hari yang terlalu istimewa untuk Ibu. Bukanlah hari ilang tahun (Ibu baru akan berumur sembilan belas bulan Agustus nanti). Bukan pula hari jadi pernikahan Ayah dan Ibu. Ayahmu itu nak, saat Ibu menulis surat ini masih berupa rahasia Illahi dimana dan siapa. 

Pada waktu membaca surat ini barangkali engkau telah tumbuh meremaja (semoga menjadi penghapal dan pengamal Al-Qur’an). Ibu mestilah menjelaskan mengapa saat engkau kanak Ibu mengawasimu amat lekat, membiarkanmu meronta-ronta dibanding memberi izin televisi dalam kamarmu. Ibu rasa telah tiba waktunya engkau mengerti, bukan karena tak cukup kasihku padamu, tapi  tontonanmu-pergaulanmu ibu amat khawatiri. 

Kiranya seminggu kemarin, Ibu akhirnya memenuhi ajakan kawan untuk mengajar di sebuah desa. “Sekedar mengajar calistung, tak perlulah kau risau..!” Katanya padaku.  

Ibu biasanya beragendakan suatu acara di kampus setiap ahir pekan namun terkhusus hari itu dunia seolah merestui. Akhirnya kami berangkat ke daerah Cibanteng. Tak seberapa jauhnya dari kampus tapi kampung di sana punyakan mushola pun amatlah buruk tampilannya. Karpet-karpet tipis dan perlak tumpang tindih tak serasi, karton-karton gambar buah-buahan dan huruf ditempel sembarangan, bau apek menyeruak ke sesudut. Jelas sedikit orang yang perhatikan kerapiannya, batin Ibu.

Di sana ibu terheran-heran menonton beberapa anak lelaki dengan pakaian lusuh dan celana robek hingga ke pangkal paha. Mereka berguling, saling tindih, seret-menyeret, dan belum mandi. Melihatnya Ibu sedikit jengah, kau tahulah kadang-kadang bocah lelaki iseng apalagi dengan keadaan celana begitu. Pagi itu di kampung tengah ada hajatan, ‘resepsi pernikahan anak ketua RW’ kata orang-orang. Awalnya anak-anak yang datang menyambut kami berupa kerumunan namun ketika dentam-dentum khas  dangdut terdengar mereka bak tersihir, berlari-larian keluar mushola.

Yaah, ada hajatan si Entahlah..” Kata kawanku  melihat anak-anak yang tengah diperkenalkannya padaku dua-dua menghilang.

Kalau saya tidak salah dengar, kamu mengeluhkan resepsi orang lain?” tanyaku heran kepada si kawan. 

Di sini, Kawanku, kita bersaing dengan hajatan. Anak-anak rupanya begitu menggemari acara itu sampai hilang semangat belajarnya.”

Oh,pantas. Ibu mengangguk. Ada satu bocah ,anak perempuan, wajahnya tampak sekali belum mandi. Air liurnya mengering di sana-sini, rambut berantakannya sepanjang bahu dan yang paling menarik perhatianku adalah sejak datang dia tak pernah melepas tatapannya dariku. 

Ini siapa namanya?ayoo kita kenalan!” kataku mengulurkan tangan dan tersenyum. Ia diam. Anak-anak yang duduk mengitari kami bersorak-sorak,”Ita ka! Ita namanya!” “dia mah pernah ga naik kelas tau ka!” “ka itu tuh kakanya ka!(menunjuk satu anak lelaki yang tertawa-tawa menyeret bocah lain sepantarannya) bandel banget..”seruan anak-anak susul menyusul.

Oh, Ita. Ko nama kita sama?hahaha.” Ahirnya dia tersenyum bahkan tampak seperti ingin memelukku. “Ita kelas berapa?” 

“Kelas tiga.”

 Sepanjang Ibu bercerita pada yang lain, anak itu duduk di pangkuanku. Sesekali Ibu berkata padanya dengan nada bercanda,”Ita belum mandi yaa? Ih bauuu. Ayo mandi dulu biar tambah cantik kaka tungguin” Ibu tidak perhitungkan psikologi anak atau apalah. Dia tetap saja duduk dengan nyaman, Ita cuek saja walau badannya bau benar.

Anak-anak yang lain mulai lagi mencoba menarik perhatianku. Satu yang berjepit dan berbedak berkata,“Ka, Ka, si eta mah udah pernah ng*w* tau!” 

Eh ngomongnyaa. Suuut!” Ibu tersenyum ganjil. Bagaimana pun mereka anak-anak SD, tak sepantasnya berkata begitu. Ita kutatap, ia merunduk.

Di saung ka! Dia mah pernah ng*w*!” “Sama kakanya dikasih uang seribuu!” tiga-empat anak 8-9tahun itu tertawa-tawa padaku. Ibu menoleh pada Ita,”Bohong kan ya ta?suka pada bercanda deh..yuk kita main lagi aja!”

Ku aa disuruh.. ku bapa digebotan pan aana(oleh bapa dipukulin kan kakanya).” Tak disangka Ita menjawab.

 Aduh! Betapa kaget Ibu mendengarnya. Jikalau saja tidak ada kawanku yang duduk  di sana detik itu, pastinya Ibu gemetaran sambil membuang muka. Gusti, bocah kelas 3 SD! Anak itu!

Ibu merasa larutan buih yang biasa orang sebut galau itu tumpah ke seluruh tubuhku.  Galau kata yang ngetrend sekali saat Ibu menulis nasihat ini, nak. Galau sebab manusia-manusia sezaman Ibu menganggap pornografi ibarat keripik pedas yang bikin mencret-mencret tapi penggemarnya tetap banyak mengantri. Manusia-manusia sezaman Ibu banyak berkelakar pornografi itu hanya masalah si laki yang tak beradab dan terlalu bernafsu. Bapak-bapak pemerintah juga ahirnya cuma gerutu-gerutu sambil mengisap cerutu begitu kasus perkosaan dan pergaulan bebas terus melambungkan statistik . Prostitusi tetap legal, iklan dan acara tivi tetap vulgar. Perempuan-perempuan tambah bangga kaki jenjang mulus-rambut hitam bergerainya menyedot perhatian semua mata, hak untuk berekspresi katanya, tapi anehnya Nak, sinis pada perempuan yang memilih menutup semua keindahan itu. Pun negeri kita ini , Nak, demi titel bangsa berbudaya serta santun lokalisasi dan tempat hiburan malam ditutup saat bulan Ramadhan. Setelahnya? Tak tahulah.  Tipikal sistem yang tak paten.

Maka pada hari-hari setelah pertemuan itu Ibu mengadu pada Allah jika kelak engkau lahir Ibu berjanji mengusahakan lingkungan yang baik, tontonan yang tersortir, dan selusin kebiasaan baik yang menyibukkanmu. Akan tetapi, tetaplah negara yang berhukum dengan benar yang mampu memberi perlindungan holistik padamu, pada anak-anak sezaman denganmu. 

Tak mengapa meskipun engkau belum lahir pada hari Ibu sampaikan nasihat ini: jaga dirimu Nak, jaga matamu sebab mata adalah jendela akal. Jaga telingamu sebab apa yang terbanyak kau dengar tentukan perkataan manakah yang terlontar.  Karena biar Ibu tak melihat Allah melihat, biar Ibu menjagamu dari segala sisi celah-celah itu selalu ada. Percayalah, pornografi itu lebih merusak dibanding narkoba apalagi soda. Soda sebatas menjadi inhibitor kalsium lantas membuat tulangmu mudah keropos. Narkoba merusakkan paling sedikit tiga jenis syaraf otakmu (itu sudah buruk sekali) nah pornografi, Anakku, ia merusak sampai lima jenis syaraf otak! Parahnya lagi pornografi tak membuatmu merasa telah kecanduan, silent killer sebutlah begitu, ia mengeroposi ketaatanmu-agamamu, menguapkan hapalan-hapalan ayat Rabbmu. Nah, anakku semoga akhirnya engkau mengerti dan merelakan hati.

Eh, engkau masih mengerti gaya bahasa ibumu yang ketinggalan zaman ini kan, nak? Semoga begitu.

                                                                                                Salam sayang,


                                                                                                Ibumu.



6 komentar:

Berikan komentar kamu :)