Kenapa menyalahkan angin?


“Ada yang salah dengan pembinaan, orang-orang semakin individualis..”

Zona tambahkan dalam hati, bukan salah pembinaan. Tapi memang anak jaman sekarang cenderung begitu. Yang tidak dibina pun banyak yang jauh lebih individualis. Tapi hey, bukannya penanggung utama kewajiban membina itu orang tua?

“Pintar itu baik, bagus, tapi kalau tidak peka terhadap sekitar itu bahaya.” Ayah melanjutkan ceramahnya. Seolah saya pintar saja, Zona lagi lagi membatin.

“Saya ada banyak janji dengan teman, dengan senior, dengan guru ngaji. Teman saya sedang butuh saya.”akhirnya Zona angkat bicara.

“Nah itu yang bahaya, orang lain didahulukan dibanding keluarga. Mindset yang salah.”

“Tapi keluarga di sana tak kenapa-kenapa kan?”

Ayah Zona menggelengkan kepala keras-keras, kesal.

“Di sana tidak ada sinyal, saya mesti mengerjakan tugas.” Zona berkilah.

“Bila niatnya sudah tak nak, seribu daleuh yang keluar..” Ayah menggerutu.
***
Aku mengenal Zona suatu hari di musim semi, dia duduk sendiri di tepi danau sambil memandangi langit. Kesan pertama itu mengingatkanku pada film-film dimana si tokoh utama yang super keren gemar menyendiri-atau bersekian dengan siapalah kawannya. Begitu klise.

“Hey..” ucapnya setelah 10 menit kami duduk di tepi yang sama, menatap langit yang sama. Aku menoleh, wanita yang cantik.

“Saya Zona. Namamu? Saya baru sekali ini melihatmu..” Perempuan itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. Dia tidak tinggi, giginya tidak rapi, tapi keseluruhan dia manis.

Eh? Aku.. er Saya Saki. “ Aku gelagapan meniru Zona menggunakan ‘saya’ sebagai kata ganti pertama. Formal sekali.

“Jadi, Saki.. kemana saja kamu selama ini?” dia terkekeh.

 “Em, aku tinggal di Kota Seribu Bayangan (“Waw”, ucap Zona) ...sedang berkunjung ke rumah bibiku di sini.” 

“Oh.. danaunya indah ya?” 

 “Eh ya, tapi aku lebih tertarik langitnya.” Kataku berbohong, mencoba memancingnya bicara. Seperti kataku di awal tadi, Zona serius memandangi langit. Dan sejujurnya aku bingung harus bicara apalagi.

Zona benar-benar antusias,”Oh ya? Saya juga suka sekali langitnya.. tapi memang di atas rumah bibimu tidak ada langit, eh?” dia terkekeh dengan pertanyaannya sendiri. Aku tertawa kecil, matilah jawab apa aku!

“Ada tentu saja. (sambil nyengir untuk menutupi kekikukkanku) tapi di sini terlihat lebih indah, karena bersanding danau barangkali.” Luar biasa. Kemampuan ngeles-ku memang selalu bisa diandalkan.

“Hem, ya.. Lihatlah! (Zona menunjuk langit biru bercampur merah-oranye-kuning-putih. Setidaknya, langit memang betul-betul indah sore itu.) Maha besar Allah tidak membuatnya retak-retak dan runtuh.” 
Aku terdiam mendengarnya berkata begitu, dia ini penyair atau apa, eh? Seliarnya aku membuat puisi tentang langit, pasti tak jauh dari ‘langit biru, awan putih berarak seperti kapas, bintang kecil berkelap-kelip, andai aku bisa terbang’. Padahal Zona hanya berkata-kata bukan bikin puisi, tapi...

“Jadi, daritadi kamu sibuk mengamati apakah ada retakan di langit?” terkaku. Zona tertawa.

Menit-menit kemudian Zona mendekat untuk duduk di sampingku. Berjam-jam kami habiskan mengobrol. Kuakui, dia betulan cool -cool dalam versi lain. Berbeda dengan tokoh utama film-film yang cool karena tak banyak bicara, Zona cerewet sekali dan wawasannya begitu luas. Ia bercerita dari langit-ke bumi-ke masalah kita sehari-hari-bicara satir kemudian menggebu-gebu-kemudian melucu. Dia memang ajaib.
***
“Tanggal 28-29 kamu ada acara apa?” Ibu bertanya pada Zona.

“Tidak tahu.”

“Ikut kamilah arisan keluarga di Kota Seribu Kenangan.”

Zona berpikir diam-diam, dia tidak rindu keluarga di sana -dia bahkan tidak merasa apapun pada siapapun, hatinya kebas- tapi sopan santun untuk silaturahmi jadi pertimbangan. Entahlah, jawabnya masih dalam diam.

“Bagaimana?” Ibu bertanya lagi.

SMS masuk di handphone, ‘dik maaf, dua hari ini kita gagal janjian. Tanggal 28, ya?’ Beberapa menit setelahnya SMS kedua masuk,’Zona, udah tau kan? Hera sakit dia gamau makan dan ga bicara apa-apa. Tolong kamu yang bujuk, tanggal 29 ke rumahnya gimana?’ Zona membacanya cepat, dia teringat SMS lain kemarin sore, guru ngajinya mengingatkan kajian hari sabtu sore, tanggal 28. Adapun satu senior menagih tugasnya terkait organisasi, seharusnya dikumpulkan kemarin.

“Ga ikut.” Ucap Zona akhirnya.

“Kamu ga rindu pada nenekmu? Sudah tua..” Ibu merayu. Zona membatin, liburan ini saya ke sana.
Ibu mengadu pada Ayah. Esoknya ayah menceramahi Zona.
***
Aku bingung.
Kemarin pagi saat berkunjung ke rumah bibiku, kutanyakan padanya alamat Kampus Monokrom, tempat Zona kuliah. Bibi bilang, ‘sekali naik bus kemudian jalan kaki sebentar juga sampai’. Aku berangkat pagi itu ke Kampus Monokrom, sekedar iseng-ingin mengejutkan Zona-. Setahuku Zona kuliah di jurusan Bukan Ecek Ecek, maka kantin di sekitar itulah tujuan pertamaku.
Sebenarnya aku agak kaku bertemu orang-orang asing, tapi bergaul dengan Zona membuatku sedikit lebih santai. Aku duduk di samping seorang laki-laki yang paling terlihat tidak sibuk di segerombolan mahasiswa, sedang menunggu makanan barangkali. Aku berdehem kemudian memberanikan diri bertanya, “Permisi, apakah kamu mengenal Arizona? Tingkat 3, jurusan Bukan Ecek Ecek?”
Laki-laki itu menoleh, “ oh yaya, saya kenal.. Zona? Dia teman sekelas saya, ada yang bisa saya bantu?”
“Oh-eh bukan. Aku.. eh saya boleh tanya dia orang yang seperti apa?”
Laki-laki itu mengernyit, temannya yang wanita turut mendengarkan sekarang. Alamak, basa-basi memang bukan kelebihanku!
“Baik.. cantik.. cerdas, kenapa?” dia tersenyum ramah. “friendless..” temannya yang wanita menambahkan, seketika itu si lelaki melempar pandangan tidak percaya pada si wanita.  “apa? Benar kan?”
“Dia hanya tidak suka kumpul-kumpul Lisa..”
“Soliter. Kemana-mana sendiri.” Wanita yang disebut Lisa itu menambahkan dengan nada sarkas.
Jelas sekali si laki-laki merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini, dia beralih padaku lagi. “Jadi hey, siapa namamu?” dia tersenyum.

Bukannya kamu orang yang ramah, Zona?
***
“Kenapa menyalahkan angin?”

“Apa?”

“Kamu. Kenapa menyalahkan angin ketika jemuranmu berterbangan?”

“Supaya hatiku lebih lega. Daripada menyalahkan keteledoran sendiri yang tidak menggunakan penjepit? Kurasa semua orang begitu..” Jawabku sekenanya sambil menaikkan bahu.

Zona terdiam,“Orang tua juga begitu. Selalu menyalahkan sekolah dan wadah tempat saya menuntut ilmu saat  saya sulit diatur.. Jadi begitu ya?” 

Aku tak tahu harus menjawab apa, Zona. Kamu selalu ingin tahu.

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Peran dan Tanggung Jawab Intelektual Muslim dalam Membangun Peradaban Islam. (Bagian II: Pembahasan & Penutup)


Oleh Prof. Dr. Fahmi Amhar (Peneliti Sistem Informasi dan Spasial, profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan di Indonesia) sebelumnya jangan lupa baca dulu bagian satunya>>  http://naurafauzhara.blogspot.com/2013/12/peran-dan-tanggung-jawab-intelektual.html
semoga manfaat! :D

Pembahasan
Hambatan-hambatan yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi itu karena kita memahami sejarah Nabi belum dalam kerangka mencari inspirasi, bagaimana membangkitkan umat secara mendasar dan tuntas?
Akibatnya kita gagal melihat, apa yang hilang di tubuh umat ini, sehingga mereka sedemikian terpuruk di kancah pergaulan internasional? Padahal mereka masih merasa memiliki Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Kitab yang sama, dan Kiblat yang sama!
Ini karena ada sesuatu yang hilang, yaitu penerapan Islam yang sama!
Islam diterapkan di masyarakat oleh tiga pilar: ketaqwaan individu, kontrol sosial masyarakat, dan oleh Negara. Setelah didalami, ternyata Islam memiliki lebih banyak kewajiban yang berupa fardhu kifayah daripada fardhu ain. Yang fardhu ain juga lebih banyak yang baru sempurna dengan suatu aktivitas kolektif.
Contoh: sholat adalah aktivitas individual. Tetapi bagaimana menciptakan suasan yang kondusif, agar orang termotivasi untuk sholat, misalnya dengan penyediaan fasilitas yang baik dan memadai, pengaturan jadwal kegiatan, dan pengumandangan adzan pada waktunya dll, adlah tanggungjawab kolektif.
Nah saat ini, dari dua pilar itu tinggal satu yang tersisa, yaitu ketaqwaan individu, itupun relative sedikit dibandingkan populasi. Adapun kontrol sosial sekarang sudah sangat kabur. Sudah puluhan tahun kultur yang ada hanya mentolerir pengamalan ajaran Islam, bukan memotivasinya. Yang mengabaikan kewajiban atau melanggar larangan agama semakin merasa biasa-biasa saja. Bahkan sebagian hal-hal yang diwajibkan oleh Islam masih memerlukan ijin untuk diterapkan. Inilah opini yang saat ini berkuasa.
Contoh paling aktual adalah jilbab. Dulu jilbab tidak boleh ada di pasfoto ijazah atau KTP. Sekarang sudah ditolerir, kecuali di kepolisian. Para polwan masih menunggu SK untuk jilbab sebagai pakaian seragam. Padahal justru di Negara-negara sekuler seperti Amerika atau Swedia, sudah lama polwan muslimah di sana bias berjilbab, walau juga tidak didorong.
Inilah opini umum yang sekuler dan liberal. Disebut sekuler adalah tatkalat orang sampai beranggapan bahwa manusia lebih tahu urusannya dan tidak perlu membawa-bawa Tuhan ketika berbicara tentang pengaturan masyarakat. Setelah masyarakat memisahkan Islam dari persoalan kehidupan public, maka yang terjadi adalah: di satu sisi lain muncul liberalism (yaitu yang untuk urusan politik, ekonomi, peradilan, pendidikan, pergaulan dan hubungan luar negeri tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan).
Sedangkan Negara, yang mestinya tinggal memaksa mereka yang ketaqwaanya taupun control social di lingkungannya belum mendorong menaati Islam, justru saat ini hanya mengikuti opini tadi. Demokrasi adalah doktrin bahwa hokum atau aturan bermasyarakat harus diambil dari kehendak rakyat. Ketika opini umum yang dominan di tengah rakyat masih sekuler dan liberal, otomatis demokrasi hanya akan menghasilkan hokum yang sekuler-liberal. Pemilu di beberapa negeri Islam membuktikannya.

Apalagi bila demokrasi ini sudah bias dengan kepentingan para sponsor dan pemainnya. Para sponsor ini mampu mebayar media, pengamat, konsultan politik, LSM, hingga para penegak hokum yang bias disuap. Para sponsor ini adalah kaum kapitalis hitam, baik domestik maupun asing, dan mereka memandang aktivitas politik selayaknya investasi biasa. Sebaliknya, para pemain ini memandang politik hanya sebagai pertualangan untuk mencari keuntungan, bukan aktivitas untuk melayani urusan publik. Akibatnya demokrasi akan tersandera tiga kali: pertama oleh opini sekuler-liberal, kedua oleh dominasi para kapitalis hitam, dan ketiga oleh para petualang.
Kalu kita mempelajari sejarah Nabi dalam konteks transformasi masyarakat, kita kan melihat bahwa Nabi melakukan perubahan yang fundamental di tiga aspek tersebut. Nabi mengubah individu dengan menanamkan tauhid. Selanjutnya Nabi membalikkan opini umum di masyarakat dengan menyodorkan ayat-ayat yang bertentangan dengan opini tersebut.
Oleh sebab itu, ketika pada masa kini, opini umum yang dominan dan bertentangan dengan ayat-ayat suci adalah sekulerisme dan liberalism, maka tugas para intelektual juga untuk membalikkan opini ini. Sekulerisme-liberalisme sudah dari awal bertentangan dengan tauhid.
Proses transisi pembalikan opini ini tentu memerlukan proses yang panjang dan menyakitkan. Namun ini semua proses yang perlu dilalui, sampai didapatkan suatu “massa kritis” yang siap memanggul beban perubahan.
Setiap perubahan selalu dimulai dengan satu orang dengan sekelompok kecil pengikutnya sebagai ‘pioner’ yang tak lebih dari 0,5% populasi. Kemudian mereka akan diikuti oleh kelompok ‘early adopters’. Jumlahnya akan mencapai 5%. Selebihnya perkembangan akan bergulir cepat, sehingga sebagian besar populasi akhirnya kan mengikuti sebagai ‘early majority’. Kemudian akan ada sedikit sisa yang ketinggalan (‘laggard’) yang tak akan sampai 1%. Sepertinya sunatullah di mana-mana memang begitu.
Massa kritis ini adalah mereka yang memang siap dengan segala risiko sebuah transformasi social. Tidak ada transformasi social yang langsung dapat dinikmati. Selalu aka nada masa-masa sulit, masa-masa kurang tidur, masa-masa penuh ketakutan, kekurangan dan ketidakpastian.
Disitulah peran dan tanggungjawab yang harus diambil alih para intelektual. Merekalah yang harus menginspirasi para pemimpin politis agar maju, mengambil alih tanggungjawab memimpin masyarakat menghadapi masa-masa yang berat.
Bila para intelektual ini lebih cinta dunia dan takut mati, maka para pemimpin pun akan menjadi lemah dan akhirnya rusak. Kala pemimpin rusak, maka umatpun akan rusak. Sebaliknya, jika para intelektual ini lebih mencintai Allah dan mati syahid, bila mereka tidak takut menderita, maka para pemimpin pun akan menjadi kuat, menjadi besar hatinya, dan berusaha menjauhi kerusakan. Han jika ada pemimpin-pemimpin yang seperti ini, maka umat pun akan bisa diperbaiki, karena ada teladan yang bias dipercaya. Umatpun akan bias dibangkitkan, dan bias diajak bergerak menuju tugas sejarahnya!
Dan sebagaimana sebuah pekerjaan raksasa, perubahan ini tidak bisa tidak kecuali secara bersama-sama dalam sebuah jejaring (network). Inilah dakwah berjama’ah, di mana para intelektual akan saling mengisi, saling memperkuat dan saling mengoreksi.
Penutup
Inilah saatnya kaum intelektual untuk memutus lingkaran setan itu. Lingkaran setan itu tetaplah akan menyesatkan manusia, selama tidak ada orang-orang yang memilih jalan taqwa daripada jalan durhaka.
Inilah saatnya intelektual muslim menyatukan Visi dan Missi hidupnya. Visi hidupnya yang pertama sebelum menjadi intelektual adalah senantiasa menjadi hamba Allah, yang dihadirkan ke dunia, untuk menjadi yang terbaik, untuk menjadi rahmat seluruh alam.
Inilah saatnya, intelektual muslim menyadari, bahwa mereka adalah bagian dari umat yang terbaik yang harus menghadirkan ke dunia ini karya-karya terbaik, yang memiliki tanggungjawab untuk mengingatkan manusia, menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar dan membuktikan keimanan kepada Allah.
Inilah saatnya mereka duduk bersama untuk mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh potensi yang mereka miliki, untuk menyelesaikan problematika umat tersebut.

1 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Peran dan Tanggung Jawab Intelektual Muslim dalam Membangun Peradaban Islam (Bagian I: Pendahuluan-Masalah)



Tulisan Prof. Dr. Fahmi Amhar (seorang peneliti Sistem Informasi dan Spasial,  profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan di Indonesia) ini saya ketik ulang dari makalah JICMI (Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals) yang diadain 14-15 Desember 2013 kemarin (bukan saya yang ikut, punya abi pesertanya s2 ke atas bo~). dan karena lumayan panjang sengaja saya bagi jadi 2 postingan, supaya kamu bisa memahaminya dengan baik. keren banget, serius, semoga bermanfaat. :)
Pendahuluan
Populasi umat Islam di dunia saat ini ditaksir ada 1.5 Milyar manusia. Dari jumlah ini, estimasi kalangan akademisinya adalah 10% populasi (di Indonesia menurut BPS adalah 13,28%), artinya ada 150juta akademisi. Mereka tersebar di berbagai disiplin ilmu, dan juga di berbagai negara.
                Beberapa gagasan yang sering muncul di dunia Islam menunjukan potensi besar Intelektual Muslim dalam membangun peradaban Islam. Mereka telah mengusulkan banyak sekali solusi dalam topik-topik seperti:
Politik global dan dampaknya di dunia Islam. Ini kajian yang cukup luas, mencakup geopolitik, hubungan internasional, interdependensi antar Negara, hingga issu-issu militer dan keamanan. Mereka menyadari bahwa dunia Islam terletak pada posisi-posisi paling strategis di dunia, baik dari sumberdaya alam maupun urat nadi ekonomi dunia.
Tantangan pembangunan kepemerintahan yang baik (good governance). Tidak dapat dipungkiri bahwa negeri-negeri muslim masih dibelit oleh isu-isu korupsi yang kronis, birokrasi yang tidak efisien, dan pelayanan masyarakat yang di bawah standar minimum. Di tingkat dunia bahkan ada sinyalemen bahwa tingkat indeks islamisitas Negara-negara muslim ada di bawah Negara-negara Barat (Rehman & Askary 2010).
Tantangan berikutnya adalah ekonomi. Tingkat industrialisasi yang sangat tinggi di dunia Barat, juga di China dan India, telah membuat mereka justru mampu memproduksi jauh lebih efisien dari dunia Islam. Ekspor utama dunia Islam masih didominasi oleh sumber daya alam mentah. Akibatnya dunia Islam masih sangat tergantung kepada peran di luar dunia Islam. Dari 20 anggota G20, tersebut Indonesia, Turki, Saudi Arabia. Namun perannya di dunia masih sangat minim. Mereka diambil lebih karena perananya sebagai pasar terbesar, tempat asal migrant worker dan lumbung energy. Sebaliknya, dalam teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, dunia Islam masih sangat tergantung pada asing, padahal ini adalah teknologi kunci dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Tantangan berikutnya adalah kesehatan dan keamanan pangan. Berbagai indicator kesehatan seperti angka harapan hidup, angka kematian Ibu dan angka kematian bayi di dunia Islam masih lebih jelek dari Negara-negara Barat atau Jepang.
Manajemen energy dan sumber daya alam juga menjadi hal yang amat sensitive. Dunia Islam dikaruniai potensi sumberdaya migas, batubara dan geothermal terbesar di dunia (Amhar 2007). Namun secara parsial keberadaan SDA ini justru sering membuat mereka berlaku tidak efisien, yang kemudian berimbas pada rusaknya lingkungan atau memunculkan konflik dan perang saudara di antara mereka sendiri.
Masalah wanita dan keluarga juga menjadi perhatian yang istimewa. Wanita dan keluarga menjadi benteng terakhir yang memperhatikan nilai dan budaya Islam, dan juga merupakan indikator yang baik untuk menilai keterikatan suatu komunitas dengan Islam. Namun kita harus mengakui, bahwa justru di negeri-negeri Islam, hak-hak yang diberikan Islam kepada wanita dan keluarga justru lebih sering diabaikan daripada di Negara-negara Barat. Di Dunia Islam, kapitalisme justru lebih sering memakan korban wanita dan keluarga, baik secara langsung, maupun tidak langsung melalui kemiskinan, keterbelakangan dan kekerasan.
Terakhir adalah masalah pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi. Kita tidak usah malu mengakui bahwa pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi kita masih tertinggal. Paper-paper ilmiah atau penemuan-penemuan teknolologi masih belum banyak yang dihasilkan dunia Islam. Meski sudah jutaan anak-anak muda dari negeri Islam yang telah menuntut ilmu di Negara-negara maju, mereka belum mapu mengangkat level sains dan teknologi negerinya. Sebagian dari mereka justru memilih tetap tinggal dan berkarier di Negara-negara maju, karena iklim pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi di sana jauh  lebih kondusif.
Permasalahan
Masalah-masalah seperti di atas telah banyak didiskusikan dan diseminarkan secara akademis, namun pada umumnya hanya secara parsial. Penyelesaiannya secara terintegrasi masih jarang didengar. Hal ini karena para intelektual di dunia Islam memang masih belum terbiasa melakukan sesuatu di atas atau di luar lingkup akademisnya. Para akademis dididik untuk focus hanya pada bidang kajian yang sangat sempit, sehingga judtru sering kehilangan konteks atau framework yang melungkupi persoalan itu.
Selain persoalan ruang lingkup, para akademisi di dunia Islam juga sering belum memiliki paradigma keilmuan yang khas Islam. Fenomena-fenomena alam yang bersifat empiris memang memiliki hukum-hukum alam yang sama, lepas dari soal apa ideologi atau agama ilmuwan yang menelitinya. Namun seorang muslim setidaknya perlu memiliki paradigm keilmuan seperti ontologi, epistomologi, dan aksiologi Islam yang khas. Akibatnya, sebagian dari mereka terjebak pada “islamisasi sains” yang tak lebih dari mencocok-cocokkan penemuan sains dengan ayat suci, “saintifikasi Islam” yaitu mencari-cari sains di balik suatu ajaran Islam atau “sains ta’wili” yaitu menebak-nebak sains sebagai makna suatu ayat yang sebenarnya mutasyabihat (Amhar 2012).
Memang ada persoalan-persoalan pengaturan manusia yang memerlukan sistem, dan itu memang sebagian diselidiki secara ilmiah. Muncullak ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan dan sebagainya, yang seharusnya harus dapat dipisahkan mana yang merupakan sistematisasi fenomena empiris, dan mana solusi yang muncul dari sebuah pandangan hidup. Ini mestinya menjadi “sains ijtihadi”.
Adapun terhadap fenomena alam seperti fisika, astronomi atau biologi, juga sains yang dibangun di atasnya, Qur’an bukanlah alat penguji kebenaran ilmiah karena memiliki domain yang sama sekali berbeda. Tetapi Qur’an memberikan ratusan ayat yang sebaiknya memotivasi dan menginspirasi ilmuwan muslim untuk meneliti. Pada saat yang sama Islam memberikan berbagai batasan syar’I atas metodologi ilmiah yang dilakukan. Ada beberapa cara pengungkapan ilmiah atau eksperimen yang dilarang karena akan melanggar syara’, misalnya eksperimen terhadap manusia. Dan di hilir, Islam memberikan arah, untuk apa sebenarnya sains dan teknologi itu ada. Islam tanpa sains dan teknologi akan terjajah. Sains dan teknolog tanpa Islam akan menjajah. Islam yang memandu sains dan teknologi akan membebaskan manusia dari penjajahan!
Setiap muslim seharusnya pernah mendengar hadits Rasulullah” Barangsiapa bangun di pagi hari, namun tidak terpikirkan problem umatkau, dia bukan bagian dari umatku.” Setiap orang yang diberi kapasitas lebih oleh Allah SWT, tentu diharapkan memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada umat.
Demikian pula seorang akademisi. Setelah memerintahkan seorang muslim untuk mempelajari alam semesta (QS 88:17-20), Allah memerintahkan untuk memberikan peringatan (QS 88:21-22). Ketika mulai muncul menjalankan perang tanggungjawab keumatan inilah, dia beralih dari sekedar seorang akademisi menjadi seorang intelektual. Cuma mulai dari mana?
Akademisi muslim yang telah merasa terpanggil tanggung jawabnya terhadap umat ini lalu mencoba ikut memunculkan solusi. Namun lack konteks dan paradigma membuat mereka sering terseret pada suatu jebakan “lingkaran setan”. Ini bias berawal dari asumsi yang mendasari tentang apa sesungguhnya akar persoalannya. Tetapi tentu saja tidak masalah bila memang dia merasa hanya bias menyumbangkan sesuatu terkait kompetensinya. Berikut ini adalah gambaran contoh jebakan lingkaran setan.
Ada yang menyangka bahwa umat ini terpuruk karena lemah dalam sains dan teknologi. Karena itu mereka focus pada penguasaan teknologi, membangun lembaga-lembaga untuk meraih keunggulan teknologi, atau mengirim anak-anak muslim untuk belajar teknologi ke negara maju. Apakah upaya ini berhasil? Berapa sarjana Muslim yang telah menguasai teknologi tinggi? Apakah ini berkorelasi dengan kemajuan umat secara keseluruhan? Setelah dianalisis, penguadaan teknologi tinggi tersebut ternyata tidak dapat diaplikasikan, karena kecilnya dana yang tersedia atau kesempatan yang ada untuk mewujudkannya menjadi industry dan lalu menjadi bisnis mandiri yang memicu pertumbuhan ekonomi.
Kalau demikian, apakah seharusnya lebih focus ke ekonomi? Kalau demikian maka yang diperbanyak adalah membangun sector ekonomi dan keuangan untuk permodalan umat. Wujudnya antara lain berupa pendirian lembaga-lembaga pengembangan calon entrepreneur dan pengucuran kredit mikro.
Namun, mengapa sudah banyak pakar ekonomi, tetapi negaranya termasuk Negara miskin? Mengapa negeri kita sangat kaya raya, tetapi rakyatnya sangat miskin? Setelah dianalisi: kekayaan dan kepakaran ekonomi tidak berguna jika orang-orangnya tidak bermoral (berakhlaq), banyak yang KKN atau menjalankan bisnis yang tidak halal.
Kalau begitu apakah ahlaq lebih penting? Apakah focus pada perbaikan akhlaq akan berhasil? Kalau demikian, maka diperbanyak pengajian-pengajian yang menyentuh hati. Diperbanyak kesempatan orang untuk beristigfarm berzikir, atau berdoa bersama. Diperbanyak siraman ruhani di televise atau media lainnya.
Namun mengapa orang-orang yang semula berakhlaq baik, ketika masuk sistem Negara (duduk di legislative, birokrasi, penegakan hokum), atau dunia bisnis, malah lebih sering menjadi rusak, secara sadar maupun tidak?Kalaupun ada yang tetap baik, mengapa justru dia kan teralienasi dan tersingkirkan? Kalau ada yang mencoba sedikit memperbaiki sistem, mengapa mereka justru malah ditendang?
Apakah ini berarti kita perlu melahirkan lebih banyak manusia yang berakhlaq untuk mewarnai sistemnya? Sehingga, apakah mewujudkan pendidikan Islam menjadi focus yang lebih penting? Apakah dengan mendirikan banyak sekolah islam dan pesantren akan berhasil?
Namun setelah pendidikan ini dirintis, sekarang sudah banyak sekolah islam, mutunya justru lebih rendah dari sekolah negeri? Mengapa yang didirikan sekolah islam, tetapi tetap memakai kurikulum yang sama dengan sekolah negeri? Mengapa lulusan sekolah islam kualitas dan perilakunya tidak lebih baik dari sekolah negeri?
Apa arti dari semua ini?
  Ternyata, berbagai upaya yang telah diupayakan intelektual muslim tersebut masih belum menyelesaikan masalah umat. Setiap upaya yang dilakukan seakan-akan seperti masuk ke dalam lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Lantas, apa yang seharusnya diupayakan oleh para intelektual muslim?

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Ada Apa dengan Air Mata?


Pernahkah kamu mendengar kata-kata ini?
 
“Wanita sanggup menahan 7 perasaan dalam satu waktu” 
‘lebay njir’ itu kesan pertama ketika membacanya, dan biarpun saya lebay  perasa dan suka sastra, tulisan dan puisi mendayu-dayu macam ‘oh..dirimu yang begini-begitu’ itu gak saya banget. Tulisan sejenis itu biasanya saya scanning tanpa mengendapkan apa-apa di kepala , atau sekalimat dilihat selanjutnya tamat.

Tapi pada suatu waktu  yang ga biasa, tepatnya ketika kita jadi banyak termenung tentang diri, tentang siapa-untuk apa-kemana kita setelah hidup, mulailah saya sadari satu hal. Ada satu sifat yang ga biasa dari saya: cengeng.  Untuk mengakuinya jelas gengsi.
Bagaimana tidak? Saya dibesarkan sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga, cucu perempuan pertama dari 18 cucu nenek pihak ibu. 
Semasa SD biasa main bola, lebih memilih main tajos bareng kawan lelaki dibanding bergosip dengan teman-teman perempuan, bersenjatakan koprol kalau main karet sudah sampai telinga kawan saya, manjat tiang aula SD Insan Kamil lama, nyaris setiap hari dibujuk wali kelas melepas handband dan menurunkan gulungan seragam sampai ke siku yang dirasa keren -__- belum lagi awal-awal SMP yang amat bangga bertitel karateka, berdasarkan literatur di film-film semestinya saya terbiasa tangguh-maskulin-apapun yang intinya jauh dari sifat lemah dan kekanak-kanakan, ya kan?

Sayangnya teori tinggalah teori, pada kesehariannya inilah yang terjadi:

Jengkel nangis, marah nangis, sedih nangis, kecewa nangis, merasa bersalah nangis, bingung nangis, sakit nangis, frustasi nangis, panik nangis, nonton film nangis, denger cerita nangis, lega nangis bahkan bahagia dan tertawa pun NANGIS! 

Hey, bahkan untuk ukuran perempuan hal itu kelewat berlebihan!

Kemudian saya mulai sepakat dengan kata-kata tadi. Benarlah, dalam satu kali tangisan ataupun diam seringkali merupakan pengejawantahan berbagai macam perasaan. Benarlah, ‘wanita sanggup menahan 7 perasaan dalam satu waktu’ walau untuk mengurainya satu-persatu sungguh kesia-siaan yang mengulur waktu.

Jadi, saya tidak mengerti dengan air mata sebetulnya.

Apakah karena pada slaid kuliah ditulis kelenjar air mata dipengaruhi saraf parasimpatetik, lantas, ketika saya betul betul tak ingin menangis dalam menanggapi sesuatu, dia tetap menemui isak? 
Mengapa dia seperti Parmin yang diam-diam durhaka pada majikannya demi bertemu Surtini-kambing kesayangannya-? Dan tahukah engkau apa yang dijawabnya ketika saya tanyakan?

Dengan kalem dia menjawab, “Aku adalah pengingat betapa kamu lemah hey manusia.”

Saya yang waktu itu sedang minum kopi lantas tersedak, sekian detik kemudian cepat-cepat membalas, “okelah soal menangis karena sedih, tapi untuk tertawa?itu konyol!”

Dia tersenyum.

“Jawablah! Kau durhaka padaku hey airmata!”

Dia tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu saat rasa sakit datang. Cobalah jangan ikut keluar. Aku malu betul.” Suaraku melunak.

Dia hanya berdehem sambil menarik kilasan memori.

Oya, saya belum ceritakan padamu kejadian yang menimpa saya dulu..

Saat kelas 1 SMP saya sering ikut Kang Yayan, pelatih karate  yang juga melatih di SMA Kosgoro dan YPHB, untuk latihan tambahan. Waktu itu, di Kosgoro kami dibariskan untuk menendang samsak bergiliran. Tibalah giliran saya, mawashi geri tepat mengenai samsak. ‘Hap, bagus!’ucap sang guru. Saya tersenyum sambil berbalik badan ke kiri, kemudian tanpa bilang-bilang ‘DAAGG’ kaki siswi SMA yang overweight itu justru menjadikan ulu hati saya samsak. (‘Kakinya tak menurut pada otak!’ jelasnya belakangan sambil terus menerus meminta maaf).
 Tubuh saya yang saat itu tak lebih dari 40-sekian kilo terpelanting sekian meter. 
Dada saya luar biasa sakit, saya megap-megap kehabisan napas. 
Saya kira waktu itu sakaratulmaut telah tiba.
Air mata menetes lambat, saya meracau,”Kang! Sa..hh..kit.. sa-kit.. to..hh..long-in.. hhh ga.. ga-bisa.. ga-bisa.. na..pas..kang!” 
rasa takut memuncak mengingat cerita seorang karateka pro yang meninggal di arena tanding.
Untungnya saya salah. Itu bukan sakaratulmaut, beberapa hari setelahnya saya tahui ternyata itu hal biasa terjadi di dunia perkaratean: berhenti bernafas sementara, sesak.
Setelah Kang Yayan melonggarkan sabuk karate dan menenangkan saya, perlahan oksigen terasa memasuki paru-paru. Serta merta saya menangis sesegukan, air mata yang membanjir pertanda napas kembali normal. Setelah 3 hari sakitnya tidak hilang, berceritalah saya pada ibu. Hasilnya? tentu saja izin mengikuti latihan tambahan beliau cabut. Yah.

“aku bersyukur bisa menangis waktu itu..”jawabku sungguh-sungguh. Dia terkekeh.

“..tapi, kau jadi tak berharga kalau keluar terlalu sering..”tambahku. Dia menaikkan alis, menarik napas,

“Bukankah kamu sendiri yang berkata,rasa pedih lebih baik dibanding tak merasa apa-apa. kebas? Hambar? Bukankah kamu sendiri yang suka sekali lirik ,’love hurt.. but its sometimes a good hurt. I feel like I’m alive..’ kelewat benar katamu. nah aku selalu setia ”  kamu menceramahiku,eh-air mata?

“ya ya ya ya!” ucap saya dengan nada tinggi.

“ketahuilah melakrimasi mata sekaligus hatimu itu tidak mudah. Kelak bila kamu buta, kamu akan syukuri kehadiranku mengingatkan kamu punya mata. Jadi, bersyukur sajalah..”

Saya diam, lamat-lamat berkata, “Baiklah, tapi bolehkah saya minta satu hal?”

“ya?”

“ Paling tidak jangan buat saya menangis saat Izrail datang”

Dia tersenyum penuh maksud. Entah iya, entah tidak.




2 komentar:

Berikan komentar kamu :)