Saat Menengahi Si Kaya dan Si Miskin



“Saya orang kaya..saya orang kaya..” kemudian anak-anak yang berbaris di hadapan anak-anak yang mengaku ‘orang kaya’ itu gantian maju dan berseru,’saya orang miskin..saya orang miskin..” ‘orang kaya’ tak mau kalah kembali maju dan berkata, “saya minta anak..saya minta anak” “namanya siapa namanya siapa…”
 Ingat permainan itu, hey para bocah abad 20-an? Betapa asiknya dulu saat anak-anak seusia kita keluar rumah untuk bermain tiap sore, mencorat-coret aspal, mengandalkan tiang listrik, menjelajahi persawahan dan hanya punya bunyi-bunyian dari tangan dan mulut sendiri untuk tertawa atau tuduh menuduh dengan teman, berlari-larian bermandikan cahaya matahari. Dulu kita tak kenal media sosial, maka itulah media –fisik- sosial kita  :) well, bukan nostalgia permainan jadul sih yang bakal saya bahas kali ini, tapi mengenai dua kondisi yang disebutin di permainan tadi : kaya dan miskin.
Cerita berawal dari Jumat siang, masih dengan jadwal yang 11-12 dengan hari-hari lainnya perkuliahan di gizi: padet. Di siang itu saya berkesempatan mendengar pendapat seorang teman soal orang miskin,”orang miskin mah mungkin udah merasa enak karena banyak banget subsidi-bantuan langsung, dikasih uang ini itu jadinya keenakan. Merasanya hidupnya diurusin banget sama pemerintah.” Saya tertegun, sebab baru kali ini saya ketemu langsung orang yang berkata begitu di dunia nyata,  biasanya kan lebih banyak yg pro-orang miskin ya ga? kalaupun ada biasanya adalah komen-komen di dunia maya. Perlu saya tekankan teman saya itu orang yang menyenangkan, benar-benar bukan tipe tipe orang kaya culas seperti di sinetron, bukan, dia asik baik manis dan ga ada deh iri hati atau sikap benci saya ke dia yang bikin saya nulis ini.
Warga Solo yang antri JAMKESMAS, mirip mirip kaya yg saya sering liat di RS
Barangkali karena saya sedikit sering berinteraksi dengan golongan menengah ke bawah, maka anggapan hidup mereka diurusin banget pemerintah mentah banget di mata saya. Aplikasi Automatic flashback langsung bekerja dalam pikiran: gimana rasanya nunggu di rumah sakit milik pemerintah yang mesti dateng dari subuh nunggu loket buka jam8 tau-tau diperiksa jam 12, sangat tidak efisien. Bersama saya yang datang subuh di sana ‘orang-orang miskin’ juga berdesakan mengantri jamkesmas, mengurus berkasnya saja repot, belum lagi perlakuan judes pegawai, begitukah nasib orang-orang yang katanya diurusin banget pemerintah? Tentang pro-kontra kenaikan harga BBM juga begitu, orang yang merasa cukup kebanyakan tidak masalah soal BBM naik, ‘bukan masalah genting, itu bukan masalah utama.’ Ya bukan masalah genting untukmu, tapi untuk 28,55 juta orang ga mampu? Apalagi BBM adalah komoditas vital yg efek harganya merembet kemana-mana. Ditambahin deh program BLSM alias balsem yang indah kedengerannya aja padahal mah kasian banget, jelas ga bakalan nutup kebutuhan yg makin mahal sejalan naiknya BBM.

Maka sudut pandang orang miskin justru sebaliknya,”orang kaya tuh enak banget,di rumah sakit tinggal milih mau kamar khusus ternyaman yang mana, dibaik-baikin petugas, ga pake ngantri, bahkan soal hukum pun bisa tawar-menawar.” Menurut saya ya beginilah yang terjadi selama sistem kapitalisme masih berkuasa, yang punya modal yang menang. Di sisi lain, saya juga menemukan rasa sebal saat mendengar berita para pengemis-kaya raya, ituloh yang pekerjaannya adalah mengemis dilusuh-lusuhin ,”…padahal rumahnya gedongan angkotnya banyak, istrinya dua. Orang kaya di desa X ” seperti penuturan seorang ibu di angkot yang mengaku tetangga seorang pengemis terkenal di kampus. Ga bisa dielakkan mentalitas miskin-ngemis-minta minta padahal masih mampu juga bikin banyak orang ga respek. (Termasuk kadang kita juga begitu, naudzubillah.) Bukannya hadist bilang orang yang sejenis itu di hari kiamat mukanya bakal gosong? :(


Masih Jumat yang sama, sorenya saya ada privat. Kali ini saya kebagian nemenin seorang anak kelas 9 belajar B.Indonesia. Karena saya gatau alamatnya, sempet nyasar dan ngelilingin separuh kota Bogor -_-“ begitu tiba di alamat yg dituju, jeng jeng. Saya mendongak melihat rumah yang menjulang entah berapa tingkat, Shinta yang waktu itu nganter membunyikan,’waaaaaw’. Duh kami norak banget. Pantaslah anak itu dilesin b.indonesia, privat pula, ternyata sejak usia 1 tahun dia tinggal di Jeddah dan baru balik ke Indonesia setahun terakhir. Dalam beberapa jam saya dapati dia anak yang baik, sopan dan pandai, cuma kendala bahasa aja. Kemudian pas beres solat magrib, sambil ngeliatin permadani gitu saya ngebatin ,”Ya Allah, ternyata beneran ada ya orang yang hidup begini. enak banget.”  Mungkin naluri manusia ya suka keindahan, walaupun ga pengen juga saya punya rumah gede-gede gitu. Sebelumnya bukannya saya belum pernah ke rumah yang bagus, tapi suasananya agak beda, gimana sih interior timur tengah yang glamor bling bling gitu?

Ga lama kemudian saya banyak banyak bersyukur, bayangkan kalau iya saya lahir dalam kemewahan. Belum tentu akhirnya saya mau ikut memperjuangkan khilafah kan? Lah wong hidup aja udah enak banget, apa lagi yang ga ideal? Malah bisa juga justru nentang perjuangan khilafah karena  nganggep adanya khilafah mengancam keeksistansian hidup mewah saya. Sekarang aja saya yang kebutuhan hidupnya ga berkekurangan, masih suka futur, sibuk sama urusan sendiri dan kurang care. Bersyukur banget juga ga hidup dalam kemiskinan, sedang-sedang aja. Bayangan saya yang dalam kesulitan ekonomi belum tentu serta merta bikin mau memperjuangkan khilafah kan? Mungkin alasan saya adalah sibuk mencari nafkah buat menuhin kebutuhan hidup di jaman yang edan ini.

Sistem saat ini emang pandai banget bikin kita kaum muslimin melupakan kewajibannya atas keberadaan khilafah, penegak aturan Allah di atas aturan aturan receh bikinan manusia. Kapitalisme emang alamiahnya menciptakan gap antara si Kaya dan si Miskin dan ga jarang bikin masing-masing golongan merasa acuh dengan golongan lainnya. Beda dengan Khilafah, mau dia kaya atau miskin, akan diperlakukan sama baiknya, sama sama murah, sama sama dijamin. Oya lagipula khilafah ga bakalan melihara(=melestarikan) orang miskin dan anak terlantar, sebab semuanya bakal jadi orang mampu yang sejahtera. Islam sendiri ga ngelarang kita jadi kaya atau miskin. Kita bisa aja jadi kaya Abdurrahman bin Auf dengan hartanya yang diberikan demi perjuangan Islam, kita juga boleh aja hidup sederhana bangeeet seperti Ali bin Abi thalib, tapi jangan sampai kefakiran bikin kita jatuh ke dalam kehinaan. Yang jelas mau kaya atau miskin harus perjuangkan khilafah! Yuk!  



*mohon maaf apabila ada kesalahan penggunaan istilah atau ada yg merasa tersinggung, semoga dapat diambil pelajarannya*

2 komentar:

Berikan komentar kamu :)

AMANAH

Tahun ini in shaa Allah adalah tahun ke-20 kehidupan seorang Fathia. Ada banyak sekali perubahan yang saya rasakan atau orang lain rasakan terhadap saya. Saya pribadi menganggapnya sedikit lebih baik dibanding saat pertama kali menginjak perkuliahan, tapi entah bagi sebagian yang lain mungkin saya justru menjadi lebih buruk? Who knows?

Well, sedikit banyak yang saya rasakan perubahannya adalah soal cara pandang. Untuk kali ini saya mau membeberkan salah satu aja, yaitu soal amanah.


Dulu, terutama di SMA sejujurnya saya menganggap amanah amatlah sepele. Apakah saya tidak tau bahwa tiap kita akan dimintai pertanggungjawaban? Of course, I knew. Tapi tetaplah saya kala itu seringkali berpandangan ‘orang yang keren itu ga pernah keliatan sungguh-sungguh tapi hasilnya bagus’. Aneh banget kan? Tapi itulah yang terjadi, jadi nyaris selalu saya membiasakan diri tidak perlu merencanakan sesuatu dengan ‘terlalu serius, terlalu sungguh-sungguh. Selow aja~’.


Hasilnya? Well, ada beberapa yang berjalan mulus, tapi kebanyakan adalah gatot! Kena semprot guru, karena ga mempersiapkan sesuatu yang saya bawahi dengan baik, saya terlalu mudah percaya dengan kesanggupan orang, ga pernah terpikir Plan B-C lalala ‘Selow~’. Pengecualian kalau amanah tersebut memang hanyalah saya seorang yang menangggung dan berdampak besar, misalnya dulu seperti menjadi bendahara Rohis, menjadi humor pribadi kalau ingat saya taruh semua uang kas rohis yang sekitar 7jutaan dalam bentuk receh beramplop amplop dalam lemari baju, soalnya waktu itu belum ada satupun dari BPH yang punya KTP. Haha. 
Atau menjadi satu-satunya anggota di divisi psdm rohis, saya bertanggungjawab menyiapkan semua program divisi sendirian dibantu kedua kadiv (akhwat dan ikhwan), karena ya siapa lagi? Tapi memang itulah semestinya seorang pemegang amanah: total, ya kan?

  
Seperti habit-habit lainnya, lama kelamaan tentu kitalah yang akhirnya dikendalikan kebiasaan itu dan sulit sekali dipisahkan. Maka imej yang melekat pada saya adalah tidak profesional. Saya waktu itu sama sekali ga merasa terganggu, justru nyaman. Tidak pernah ada amanah yang amat penting-besar-genting-formal (kecuali dua tadi dan beberapa lainnya) yg saya pikul lagi, ga ada yang perlu saya pusing-pusing pikirkan lagi. Kebanyakan yah yang kecil-kecil aja mudah mudah aja anggapan saya.Parahnya hal ini bikin jadi sering terpikir: ah gapapalah saya telat atau ga datang rapat, bukan orang penting ini di acara itu. -.- ketika saya sadari habits ‘ga mau repot’ ini ternyata membuahkan hasil : Fathia amatlah kurang pengalaman terutama untuk suatu yang kompleks dan formal. Sempet terlintas penyesalan kenapa dulu ketika ada peluang masuk OSIS malah nolak dengan bangganya.. (kemudian seorang sahabat langsung mengingatkan ‘semua pasti ada hikmahnya Fath, gausah disesali’)


Ada satu sisi lain yang amat memalukan, tapi saya rasa mayoritas orang saat ini pun punya pandangan ini: jabatan adalah suatu prestise. Gampangnya gini, pernah bertemu seorang ketua osis? Atau apa sih yang kamu bayangkan tentang presiden mahasiswa?rektor? ‘Wah’ ‘Keren’ adalah beberapa kata yang mungkin terlontar bersamaan dengan decak kagum. Nah inilah kita, sobat. Sistem kapitalis bikin pemikiran-pemikiran sesat dan ga Islami merangsek masuk kepala kita. Hasilnya? Lazim banget orang-orang rebutan jabatan. Padahal aslinya dalam Islam, sahabat mana sih yang berebutan pengen jadi pemimpin sebagai pengganti Rasulullah?ga ada! Semua orang merasa enggan karena menyadari beratnya pertanggungjawaban itu. Ahirnya ketika pun terpilih dia amat berhati-hati, dia betul-betul amanah. Politik dalam Islam begitu mulia, karena artinya melayani urusan umat, jadi pelayan tau kan? Bukan seperti kata Gie,’Politik tai kucing’ karena politik yang ia maksud ya dalam sistem macam sekarang, orang sikut-sikutan demi kekuasaan sebab dengan menjadi politisi-pemerintah melekat pulalah segala kemudahan hidup.


Ketika memasuki dunia kampus saya bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, lebih optimal, lebih manfaat buat orang lain. Lagi-lagi terpaksa saya sebut Adzkia Salima di tulisan saya haha, kakak yang satu ini dengan bernafsu bilang,’pokonya fath lo harus jadi RT! Eh ga, jadi Lurah!’  dan emang udah bawaan orok saya orangnya nekat plus gatau malu sekaligus taat (alah nambah-nambahin biar ada bagusnya aja) jadilah yang tadinya ga minat malah nekat daftar di akhir-akhir deadline. Niat saya sederhana banget, pengen berubah lebih baik, mungkin dengan tersibukkan bantu orang habit saya bisa diubah. Visi-misi lalala bahkan dibantu mba adz banget, saya iyain aja karena ga biasa bikin yg formal formal. (parah haha) saya fokus bikin essay dan menuhi syarat-syarat lainnya. Dan akhirnya adalah…jeng jeng jeng. lolos seleksi berkas dan diwajibin kampaye di gedung asrama. MALU, MINDER. Jujur itu yang terpikir. Apalagi setelah kenal dua calon lainnya: Febi dan Tika. Mereka kelihatan berpengalaman dan didukung penuh sama lorongnya, lah saya? ngobrol ngobrol aja belum sama temen-temen, kan koplak. Kemudian saya pulang ke rumah dan cerita ke ibu, tanpa disangka sangka ibu malah bilang,’hem. Berat tuh. Bakal jarang pulang’ dari raut mukanya jelas banget ga setuju. 
Nah loh.
Dan sejak saat itu saya jadi setengah-setengah (bukan manusia jadi-jadian maksudnya) apalagi setelah tau jadi lurah ga boleh ikutan ukm lain lain, padahal temen-temen lorong pada bantuin. Belakangan saya tau beberapa orang yang cukup lama kenal menertawakan kenekatan saya, gatau diri mungkin pikir mereka.  Kemudian dengan mantap saya putusin satu hal ke Nuri, temen yang lucu dan baik banget nih orang,’Nur pokonya doain gue kalah dengan terhormat ya.’ Doa macam apa itu? -_-


Kamu tau apa hasilnya?

Bener banget emang ridho Allah tergantung ridho ortu, dan saya sadari kemampuan juga harus ada buat jadi pemimpin. Yep, sesuai prediksi Febi jadi lurahnya. Dia bener-bener amanah sampe masa jabatannya beres, anak-anak di lorongku suka cerita. Ada hal yang mengharukan pas beres pemilihan lurah, saya saking senengnya nyaris lonjak lonjak langsung sms Khadijah yang beda gedung asrama. Khadijah langsung bales,’Selamat ya Fathia! Kamu udah dapet pengalaman baruuuu! Tapi kamu ga apa apa kan?’ ‘Demi Allah jah, aku bahagia.’ Jawabku sumringah. Pernah diselamatin karena udah berani nyoba suatu hal meski gagal? :D Itulah kerennya dije. 


dan nah, gimana dengan sekarang?katanya ada perubahan cara pandang?

Iya, sekarang saya mencoba tanam dalam dalam konsep kepemimpinan Islam. Bahwa jabatan bukanlah prestasi, makin tinggi jabatan makin makin tinggi gengsinya. Naudzubillah deh semoga dijauhkan dari perasaan macam itu. Mudah-mudahan dapet kesempatan belajar menaklukan ‘something formal, something complicated’ dengan niat tulus karena Allah, bukan sekedar karena gharizah baqa (naluri untuk pengen diakui).


Salam.

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)

Ko bisa nolak demokrasi?


dengar, dengar. (atau tepatnya baca deh baca)

masihkah heran dengan adanya penolakan terhadap demokrasi?

'lah demokrasi kan islami bangeeet, segala macem dimusyawarahin. kan cocok tuh sama anjuran Islam.'

atau

'lah katanya menolak demokrasi kok ikutan pemira?kan itu ajang demokrasi.'

atau

'trus kalo ikut pemira tapi kok golput di pemilu NKRI?'



pertama: enak aja Islam disama-samain sama demokrasi.

liat intinya: demokrasi kedaulatan di tangan rakyat (=manusia), Islam kedaulatan di tangan hukum syara (=Allah).

jadi jelas ya beda, di demokrasi segala macem boleh di'musyawarahin' termasuk yg wajib pun bisa jadi mubah bahkan dilarang tergantung gimana mayoritas disitu. dalam Islam?yg boleh dimusyawarahin ya terbatas, apa yg udah ada pakemnya, aturannya jelas dalam Islam ya ga boleh tho ditawar-tawar, emangnya beli sayur.



kedua: wah ini ceritanya bisa panjang ngomongin pemira/pemilu.

intinya pemira ga ada hubungannya (secara langsung) dengan sistem pemerintahan kita, lebih ke teknis gimana perkampusan/kemahasiswaan berjalan kan?

lagipula ga ada ko yg ngeharamin pemilu. itu kan cuma uslub, cara aja buat memilih pemimpin. yang jadi fokusnya tuh 'apaan yg mau dipilih?' ya kalo pemilu NKRI jelas kita pilih pemimpin yg mau pertahanin sistem demokrasi, ya itu yg saya ga ikut ikut. jadi boleh dibilang pemilu itu bebas nilai bukan berarti miliknya demokrasi doang " bahkan kalo khilafah tegak dalam wilayah yang terlampau luas bisa aja pake pemilu, sah sah aja. cara aja kan? asal itu tadi khalifah yg dipilih jelas berhukum pake hukum syara bukan selainnya.



#JustShare #sebenernya lebih banyak alasan dan data yg pantas bikin kita-muslim- sebel sama demokrasi

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)