Anakku, ketika engkau sudah bisa membaca
nasihat ini tentu keadaan telah banyak berubah. Barangkali macam film-film fiksi ilmiah yang laku di bioskop tuwentiwan
dan eks-ekswan jaman Ibu remaja? Apakah banyak mobil-mobil beterbangan?
Sudahkah engkau temukan semacam plester yang bisa menghangatkan makanan seperti
yang Ibu suka andai-andai saat tinggal di asrama? Barangkali dunia di sana
telah amat pikuk dengan modernitas gedung-gedung indah pencakar langit dan
bunga dandelion sudah hidup di pot-pot dalam
rumah kaca akibat terlalu langka, ya nak?
Hari dimana ibu menulis surat
untukmu, anakku, sebenarnya bukanlah hari yang terlalu istimewa untuk Ibu. Bukanlah
hari ilang tahun (Ibu baru akan berumur sembilan belas bulan Agustus nanti).
Bukan pula hari jadi pernikahan Ayah dan Ibu. Ayahmu itu nak, saat Ibu menulis
surat ini masih berupa rahasia Illahi dimana dan siapa.
Pada waktu membaca surat ini
barangkali engkau telah tumbuh meremaja (semoga menjadi penghapal dan pengamal
Al-Qur’an). Ibu mestilah menjelaskan mengapa saat engkau kanak Ibu mengawasimu
amat lekat, membiarkanmu meronta-ronta dibanding memberi izin televisi dalam
kamarmu. Ibu rasa telah tiba waktunya engkau mengerti, bukan karena tak cukup
kasihku padamu, tapi tontonanmu-pergaulanmu
ibu amat khawatiri.
Kiranya seminggu kemarin, Ibu akhirnya
memenuhi ajakan kawan untuk mengajar di sebuah desa. “Sekedar mengajar calistung, tak perlulah kau risau..!” Katanya padaku.
Ibu biasanya beragendakan suatu
acara di kampus setiap ahir pekan namun terkhusus hari itu dunia seolah merestui.
Akhirnya kami berangkat ke daerah Cibanteng. Tak seberapa jauhnya dari kampus
tapi kampung di sana punyakan mushola pun amatlah buruk tampilannya.
Karpet-karpet tipis dan perlak tumpang tindih tak serasi, karton-karton gambar
buah-buahan dan huruf ditempel sembarangan, bau apek menyeruak ke sesudut. Jelas sedikit orang yang perhatikan
kerapiannya, batin Ibu.
Di sana ibu terheran-heran menonton beberapa
anak lelaki dengan pakaian lusuh dan celana robek hingga ke pangkal paha. Mereka berguling,
saling tindih, seret-menyeret, dan belum mandi. Melihatnya Ibu sedikit jengah,
kau tahulah kadang-kadang bocah lelaki iseng apalagi dengan keadaan celana
begitu. Pagi itu di kampung tengah ada hajatan,
‘resepsi pernikahan anak ketua RW’ kata orang-orang. Awalnya anak-anak yang
datang menyambut kami berupa kerumunan namun ketika dentam-dentum khas dangdut terdengar mereka bak tersihir,
berlari-larian keluar mushola.
”Yaah,
ada hajatan si Entahlah..” Kata kawanku melihat anak-anak yang tengah diperkenalkannya
padaku dua-dua menghilang.
“Kalau
saya tidak salah dengar, kamu mengeluhkan resepsi orang lain?” tanyaku
heran kepada si kawan.
“Di
sini, Kawanku, kita bersaing dengan hajatan. Anak-anak rupanya begitu
menggemari acara itu sampai hilang semangat belajarnya.”
Oh,pantas. Ibu
mengangguk. Ada satu bocah ,anak perempuan, wajahnya tampak sekali belum mandi.
Air liurnya mengering di sana-sini, rambut berantakannya sepanjang bahu dan
yang paling menarik perhatianku adalah sejak datang dia tak pernah melepas tatapannya
dariku.
“Ini
siapa namanya?ayoo kita kenalan!” kataku mengulurkan tangan dan tersenyum. Ia
diam. Anak-anak yang duduk mengitari kami bersorak-sorak,”Ita ka! Ita namanya!” “dia
mah pernah ga naik kelas tau ka!” “ka
itu tuh kakanya ka!(menunjuk satu anak lelaki yang tertawa-tawa menyeret
bocah lain sepantarannya) bandel
banget..”seruan anak-anak susul menyusul.
“Oh,
Ita. Ko nama kita sama?hahaha.” Ahirnya dia tersenyum bahkan tampak seperti
ingin memelukku. “Ita kelas berapa?”
“Kelas tiga.”
Sepanjang Ibu bercerita pada yang lain, anak
itu duduk di pangkuanku. Sesekali Ibu berkata padanya dengan nada bercanda,”Ita belum mandi yaa? Ih bauuu. Ayo mandi
dulu biar tambah cantik kaka tungguin” Ibu tidak perhitungkan psikologi
anak atau apalah. Dia tetap saja duduk dengan nyaman, Ita cuek saja walau
badannya bau benar.
Anak-anak yang lain mulai lagi
mencoba menarik perhatianku. Satu yang berjepit dan berbedak berkata,“Ka, Ka, si eta mah udah pernah ng*w* tau!”
“Eh
ngomongnyaa. Suuut!” Ibu tersenyum ganjil. Bagaimana pun mereka anak-anak
SD, tak sepantasnya berkata begitu. Ita kutatap, ia merunduk.
“Di
saung ka! Dia mah pernah ng*w*!” “Sama kakanya dikasih uang seribuu!” tiga-empat
anak 8-9tahun itu tertawa-tawa padaku. Ibu menoleh pada Ita,”Bohong kan ya ta?suka pada bercanda deh..yuk
kita main lagi aja!”
“Ku
aa disuruh.. ku bapa digebotan pan aana(oleh bapa dipukulin kan kakanya).” Tak disangka Ita menjawab.
Aduh! Betapa kaget Ibu mendengarnya. Jikalau saja
tidak ada kawanku yang duduk di sana
detik itu, pastinya Ibu gemetaran sambil membuang muka. Gusti, bocah kelas 3 SD! Anak itu!
Ibu merasa larutan buih yang biasa
orang sebut galau itu tumpah ke seluruh tubuhku. Galau kata yang ngetrend sekali saat Ibu
menulis nasihat ini, nak. Galau sebab manusia-manusia sezaman Ibu menganggap pornografi
ibarat keripik pedas yang bikin mencret-mencret tapi penggemarnya tetap banyak mengantri.
Manusia-manusia sezaman Ibu banyak berkelakar pornografi itu hanya masalah si
laki yang tak beradab dan terlalu bernafsu. Bapak-bapak pemerintah juga ahirnya
cuma gerutu-gerutu sambil mengisap cerutu begitu kasus perkosaan dan pergaulan
bebas terus melambungkan statistik . Prostitusi tetap legal, iklan dan acara
tivi tetap vulgar. Perempuan-perempuan tambah bangga kaki jenjang mulus-rambut
hitam bergerainya menyedot perhatian semua mata, hak untuk berekspresi katanya,
tapi anehnya Nak, sinis pada perempuan yang memilih menutup semua keindahan
itu. Pun negeri kita ini , Nak, demi titel bangsa berbudaya serta santun lokalisasi
dan tempat hiburan malam ditutup saat bulan Ramadhan. Setelahnya? Tak tahulah. Tipikal sistem yang tak paten.
Maka pada hari-hari setelah
pertemuan itu Ibu mengadu pada Allah jika kelak engkau lahir Ibu berjanji
mengusahakan lingkungan yang baik, tontonan yang tersortir, dan selusin kebiasaan
baik yang menyibukkanmu. Akan tetapi, tetaplah negara yang berhukum dengan benar
yang mampu memberi perlindungan holistik padamu, pada anak-anak sezaman
denganmu.
Tak mengapa meskipun engkau belum
lahir pada hari Ibu sampaikan nasihat ini: jaga dirimu Nak, jaga matamu sebab
mata adalah jendela akal. Jaga telingamu sebab apa yang terbanyak kau dengar
tentukan perkataan manakah yang terlontar. Karena biar Ibu tak melihat Allah melihat, biar Ibu
menjagamu dari segala sisi celah-celah itu selalu ada. Percayalah, pornografi
itu lebih merusak dibanding narkoba apalagi soda. Soda sebatas menjadi
inhibitor kalsium lantas membuat tulangmu mudah keropos. Narkoba merusakkan
paling sedikit tiga jenis syaraf otakmu (itu sudah buruk sekali) nah
pornografi, Anakku, ia merusak sampai lima jenis syaraf otak! Parahnya lagi
pornografi tak membuatmu merasa telah kecanduan, silent killer sebutlah begitu, ia mengeroposi ketaatanmu-agamamu,
menguapkan hapalan-hapalan ayat Rabbmu. Nah, anakku semoga akhirnya engkau
mengerti dan merelakan hati.
Eh, engkau masih mengerti gaya
bahasa ibumu yang ketinggalan zaman ini kan, nak? Semoga begitu.
Salam
sayang,
Ibumu.
Keren banget dek ! kata-katanya seakan adek telah menjadi Ibu.. :)
ReplyDeleteSemoga Semua orang terinspirasi,
Visioner, berfikir jauh kedepan. Teteh belum kepikiran tuh buat surat buat anak teteh dimasa depan.
Menginspirasi, kata-katanya mengalir! emang beda kalau udah jadi ahli kosa katanya banyak. Teteh masih sedikit nih, jadi tmbah semangat nulis.. huaaaa... jazakillah dek :D
oh ya, insyaAllah kelak saat adek melahirkan seorang putra atau putri
khilafah sudah tegak, sehingga tak ada lagi pornografi dan pornoaksi. Yang ada para ibu mempersiapkan anaknya untuk menjadi seorang mujahid. ummu wa rabatul bait :D
pertanyaannya siapa suami nya? hehe becanda :D semangat dek, bagus banget ini teteh sampai menggebu2 nulis comentnya. hehe *jng byangin yaaa haha
nah sebenernya itu juga yg terpikir olehku teh, makanya tulisan ini ga beres beres. kejadiannya awal kita liburan, nama anaknya saya samarin. karena bingung juga nanti kan khilafah udah tegak jadi ga perlu khawatir haha,tapi nasihat kan ga salah disampaikan.
ReplyDeleteiya teh semoga bermanfaat:)
Sangat menginspirasi ceritanya mba.
ReplyDeleteSalam kenal, btw :)
terima kasih, semoga bermanfaat mba :)
ReplyDeletesalam kenal juga :)
Saya belum pernah berpikir sampai sejauh ini sebelumnya. Terima kasih sudah mengantarkan kesana.
ReplyDeleteInspiring.
Keep writing!
terima kasih apresiasinya :)
ReplyDelete@ejamakna