Picture source: kaskus.co.id |
Seorang pemukul, begitulah istilah unik yang saya temukan ketika membaca blog seorang senior. Istilah ini sebenarnya ditujukan kepada mereka yang bila berkata-kata tidak pedulikan pemoles dan hias-hias indah tralala trilili, bleg.. begitu saja menumpahkan isi kepalanya. Outspoken. Oh ya, jelas sekali bukan? Saya merasa tersindir. Haha
Seorang junior malah sampai hati
(maksudnya makasih loh mikirin banget berarti ya de? :p) memilihkan fraksi
yang cocok dengan saya seandainya saja benar-benar nyata ‘fraksi’ dalam film ‘Divergent’. “Candor, they value honesty
and orders. They tell the truth, even when they want they wouldn’t.”
Well, menyitir
postingan salah satu kawan di media sosial yang di’Love’ banyak orang, ’sini tukeran hidup dulu sama gue, baru
komentar.’ Semakin membuat saya yakin bahwa menulis beragam topik merupakan
salah satu jalan buat kita untuk saling ‘mencicipi’ hidup orang lain, yang
harapannya tentu sebagai pembelajaran untuk hidup sendiri. Well, jadi beginilah
rasanya jadi si pemukul..
Menjadi
corong
Agak dilematis sebetulnya memiliki sifat
ini. Salah satu kelebihan menjadi The Beater adalah kamu akan sering dimohon–mohon
untuk menyuarakan sesuatu. “Fath kamu kan berani coba tanyain dong~” “Cobain
dulu deh sama kamu Fath” “Fath masa kita lalalllalaa (isi dengan keluhan) ga
banget, bilangin dong sama aspraknya Fath.” dst, dll.
Misalnya, suatu ketika pernah kejadian
kami mestinya mengadakan kajian di suatu koridor. Izin sudah, peserta sudah
dijarkom, waktu mestinya sebentar lagi mulai. Tapi ga bisa-bisa itu acara
dimulai, ngampar karpet aja ga. Hal demikian disebabkan di lokasi acara ada seangkatan
mahasiswa baru berkumpul sambil sibuk guntang-gunting entah apalah buat
persiapan MPD-MPF. Masalahnya, meski itu acara untuk para senior saya, tak ada
satu pun yang berani bicara. Semuanya saling menyodorkan tugas penting itu,
saling pandang dan memainkan dagu. Barangkali ya itu tadi..ratusan anak yang
mesti ditegur untuk pindah tempat, gaenak banget rasanya menyusahkan sekali
kan?
Ah, ketebak sekali bukan?
Ya akhirnya saya pula yang diminta menegur
-__- alhamdulillahnya banyak alasan yang bisa saya kemukakan saat melobi,
bawa-bawa alasan sudah saatnya solat jum’at, tentang izin koridor soal agenda
yang mestinya dilaksanakan, dsj. Akhirnya sukseslah ratusan orang yang
berkumpul itu bergeser tempat dengan santun tanpa merasa terganggu aktivitasnya,
bahkan meminta maaf. It’s truly simple, but not everyone can take it!
Dikambinghitamkan
Yang agak empet adalah saat kita
kelewat berlebihan menyampaikan sesuatu (salah sendiri). Atau kurang tepat
pengemasan penyampaian pesannya, karena bawaan si Pemukul adalah nekat, sampaikan aja yang sebenarnya! Sampaikan
sejujurnya! Katakan titipan pesan, harus amanah! maka ya selaku penyampai
pesan tentu The Beater-lah orang pertama yang bakal kena semprot, paling
minimal cap inferior bila pesan atau pertanyaan yang disampaikan dianggap
kurang bermutu. Padahal kita sekedar penyampai titipan pertanyaan/pesan kan? Haha
ya itulah, mesti banyak-banyak belajar mengemas apik titipan pesan, supaya jika
pesan itu 1 Gb misalnya bisa kamu kompres sampe ringan dan enak dibaca tanpa
mengurangi substansi yang mestinya sampai di si penerima.
Contoh paling empet tadi adalah .. ah
sudahlah, gausah diingat-ingat biar Allah yang balas haha. #Loh
Selain cerita di atas, masih banyak suka-duka
serta keuntungan-kekurangan menjadi The Beater. Melatih keberanian, menjadi
penyampai kebenaran, pendamai situasi yang tentunya mendatangkan pahala adalah
beberapa kelebihan bila sifat The Beater tadi dikelola dengan benar.
Berhubung
sudah malam, kita sudahi dulu obrolan malam ini ya..
Semoga
sharing kali ini meski ga banyak bisa bermanfaat dan membuatmu sedikit memahami
para The Beater haha.
Bye~
0 komentar:
Berikan komentar kamu :)