Muhammad Al-Fatih?
Iya. udah pernah denger doong? Hayo kan di awal
udah kita singgung..
Muhammad Al-Fatih (disebut juga Mehmed II oleh
para sejarawan) adalah putra Sultan Murad II yang memimpin pada Kekhilafahan
Utsmani. Al-Fatih lahir di Edirne, 29 Maret 1432, yaitu 8 tahun setelah
pengepungan Konstatinopel oleh ayahnya. Selama 23 tahun benaknya dipenuhi nama
Konstatinopel, sebuah kota yang dirindukan kaum Muslimin selama 825 tahun sejak
pertama disebut dalam bisyarah Rasulullah.
Berkata Abdullah bin Amru bin
Ash: “Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, lalu
Rasulullah SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu,
Konstatinopel atau Roma. Maka Rasulullah SAW menjawab, ‘Kota Heraklius terlebih
dahulu’, yakni Konstatinopel .” (HR.Ahmad)
Konstatinopel (sekarang disebut Istanbul)
sendiri bukanlah kota yang lemah. Posisinya
sebagai ibukota Byzantium (imperium terbesar pada masanya) menjadikannya
memiliki semua teknologi perang dan kejayaan sistem militer Romawi. Wilayah
lautnya sangat luas dan armada lautnya adalah yang terbaik pada masanya. Konstatinopel
dilindungi tembok yang mengelilingi kota secara sempurna, baik wilayah laut
maupun daratnya. Tembok ini mempunyai prestasi selama 1.123 tahun menahan 23 serangan
yang dialamat padanya. Lengkaplah Konstantinopel memiliki gelar “The City with perfect defence”.
Wah susah ya menaklukannya? Betul, tapi bukan
umat Rasullah SAW namanya kalau ciut nyali hanya karena itu. Maka sejarah mencatat
beberapa kali usaha futuhat Konstatinopel pada masa Muawiyah, Sulaiman bin
Abdul Malik, dan empat khalifah setelahnya. Semuanya bersungguh-sungguh agar menjadi
ahlu bisyarah Rasulullah meski hasil
akhirnya Allah belum mengizinkan.
“Sungguh, Konstatinopel akan
ditaklukan oleh kalian. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan
sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukannya.”(HR.Ahmad)
Nah, predikat sebaik-baik pemimpin itulah yang menjadi motivasi Muhammad Al-Fatih dan para pendahulunya. Menaklukan
Konstatinopel bukan sebatas prestasi dan penghargaan namun juga pembuktian atas
janji Allah lewat ucapan Rasul-Nya. Kalimat La
illaha ilallah di ibukota negeri kafir adidaya bukan hal yang utopis bagi
mereka yang yakin, tapi yaa tentu aja ga berarti cuma bermodal semangat dan
iman tanpa persiapan yang matang.
Diceritakan bahwa setelah kegagalan
ekspedisinya dan dua anaknya terbunuh, Murad II memfokuskan pendidikan pada
Muhammad Al-Fatih , anak ketiganya. Syaikh Ahmad Al-Kurani dan seorang polymath, Syaikh Aaq Syamsuddin adalah
pengajar yang ditugaskan mendidik Mehmed.
Ketika ulama tersebut menyampaikan bahwa ia diberi kewenangan oleh Murad
II untuk memukul Mehmed apabila tidak menuruti perintahnya, Mehmed muda tertawa.
Seketika itu, dipukulnya ia oleh Al-Kurani di tengah majlis. Kejadian ini
membuatnya segan pada gurunya sehingga ia bersungguh-sungguh dalam belajar. Mehmed
hapal Al-Qur’an pada usia 8 tahun. Guru
yang membentuk mental seorang penakluk adalah Syaikh Aaq Syamsuddin. Selain
mengajarkan ilmu-ilmunya syaikh senantiasa mengingatkan Mehmed akan kemuliaan ahlu bisyarah yang akan membebaskan
Konstantinopel. Bahkan, Syaikh Syamsuddin selalu mengulang-ulangi perkataannya
pada Mehmed bahwa dirinyalah pemimpin yang dimaksud dalam hadits Rasulullah
tersebut. Keyakinan Mehmed II yang ditanamkan kedua ulama tersebut membawa
pengaruh yang sangat besar. Bayangan bahwa dirinyalah penakluk Konstantinopel
membawa suatu inspirasi dan motivasi tak terbatas, digabungkan dengan watak dan
kemauan kerasnya dalam umur kurang dari 17tahun Mehmed dapat menguasai 8
bahasa. Ketertarikan luar biasa pada sejarah dan geografi, syair dan puisi,
seni, serta ilmu terapan. Keahliannya dalam perang pun sudah menjadi buah
bibir.
Dari semua hal keren tadi yang paling bikin
ngiri adalah kedekatannya dengan Allah
SWT. Mehmed II sadar betul buat jadi ahlul
bisyarah sangat dipengaruhi kedekatannya dengan yang Maha Memenangkan.
Telah sampai kepada kita bahwa Mehmed selalu menjaga sholatnya, hingga menjadi satu-satunya panglima yang ga pernah masbuq, ga pernah ninggalin sholat malam
dan rawatib semasa baligh hingga meninggal. Seluruh pasukannya ga pernah
meninggalkan sholat wajib dan separuhnya tidak pernah melewat satu malam pun
tanpa tahajud. Subhanallah!
Ah, itu mah kan emang ‘orang terpilih’ kita
mah mana bisaaa..
Eit, jangan salah tentu saja semua itu juga
ditentukan usaha dan kemauan keras manusianya. Coba bayangkan kalau Mehmed II
ga senantiasa menghabiskan malamnya di depan peta- nyusun strategi dan
mempelajari daerah lawan sebelum berangkat memenuhi cita-citanya? Gimana
ceritanya kalau Mehmed ga deket sama Allah? Apa jadinya kalau semata-mata
keindahan dan harta Kota Konstantinopel yang jadi alasan, bukan bisyarah
Rasulullah dan kemaslahatan umat? Barangkali tidak akan pernah sampai pada kita
namanya yang harum, Al-Fatih=Sang Pemenang.
Terlepas dari takdir Allah nantinya, kita
selalu punya pilihan buat jadi orang yang sukses. Namun belum bisa dikatakan
sukses mulia apabila visinya hanya sebatas individu dan duniawi aja, ya kan?
Oya, inget dengan bisyarah tadi? Masih ada satu
kota lain yang belum difutuhat hingga hari ini : Roma. Tinggal jaman menjawab
siapa Sang Penakluk selanjutnya. Nah sekarang-kita, bisa ga ya nyambungin
segala target-target kecil kita buat mencapai visi besar itu? Muhammad Al Fatih
telah menjadikan bisyarah Rasulullah sebagai inspirasinya, dengan motivasi
semacam itu mestinya kita ga karam gitu aja.
And
the last but not the least: sukses
mulia itu butuh usaha sungguh-sungguh-sungguh! ga sim salabim. Itulah yang mesti
kita perbuat, harus ada usaha yang layak untuk hasil yang pantas.
Mari berlomba!
nb: Tulisan ini merupakan semi review buku berjudul serupa karya ust. Felix Siauw. Saya tulis buat buletin penyambutan maba 50 -dalam sehari full. lumayan, hasilnya metakarpal tangan kebas dan sakit, kalo sekarang masih suka nyetrum-nyetrum gitu haha
0 komentar:
Berikan komentar kamu :)