Peran dan Tanggung Jawab Intelektual Muslim dalam Membangun Peradaban Islam (Bagian I: Pendahuluan-Masalah)



Tulisan Prof. Dr. Fahmi Amhar (seorang peneliti Sistem Informasi dan Spasial,  profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan di Indonesia) ini saya ketik ulang dari makalah JICMI (Jakarta International Conference of Muslim Intellectuals) yang diadain 14-15 Desember 2013 kemarin (bukan saya yang ikut, punya abi pesertanya s2 ke atas bo~). dan karena lumayan panjang sengaja saya bagi jadi 2 postingan, supaya kamu bisa memahaminya dengan baik. keren banget, serius, semoga bermanfaat. :)
Pendahuluan
Populasi umat Islam di dunia saat ini ditaksir ada 1.5 Milyar manusia. Dari jumlah ini, estimasi kalangan akademisinya adalah 10% populasi (di Indonesia menurut BPS adalah 13,28%), artinya ada 150juta akademisi. Mereka tersebar di berbagai disiplin ilmu, dan juga di berbagai negara.
                Beberapa gagasan yang sering muncul di dunia Islam menunjukan potensi besar Intelektual Muslim dalam membangun peradaban Islam. Mereka telah mengusulkan banyak sekali solusi dalam topik-topik seperti:
Politik global dan dampaknya di dunia Islam. Ini kajian yang cukup luas, mencakup geopolitik, hubungan internasional, interdependensi antar Negara, hingga issu-issu militer dan keamanan. Mereka menyadari bahwa dunia Islam terletak pada posisi-posisi paling strategis di dunia, baik dari sumberdaya alam maupun urat nadi ekonomi dunia.
Tantangan pembangunan kepemerintahan yang baik (good governance). Tidak dapat dipungkiri bahwa negeri-negeri muslim masih dibelit oleh isu-isu korupsi yang kronis, birokrasi yang tidak efisien, dan pelayanan masyarakat yang di bawah standar minimum. Di tingkat dunia bahkan ada sinyalemen bahwa tingkat indeks islamisitas Negara-negara muslim ada di bawah Negara-negara Barat (Rehman & Askary 2010).
Tantangan berikutnya adalah ekonomi. Tingkat industrialisasi yang sangat tinggi di dunia Barat, juga di China dan India, telah membuat mereka justru mampu memproduksi jauh lebih efisien dari dunia Islam. Ekspor utama dunia Islam masih didominasi oleh sumber daya alam mentah. Akibatnya dunia Islam masih sangat tergantung kepada peran di luar dunia Islam. Dari 20 anggota G20, tersebut Indonesia, Turki, Saudi Arabia. Namun perannya di dunia masih sangat minim. Mereka diambil lebih karena perananya sebagai pasar terbesar, tempat asal migrant worker dan lumbung energy. Sebaliknya, dalam teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, dunia Islam masih sangat tergantung pada asing, padahal ini adalah teknologi kunci dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Tantangan berikutnya adalah kesehatan dan keamanan pangan. Berbagai indicator kesehatan seperti angka harapan hidup, angka kematian Ibu dan angka kematian bayi di dunia Islam masih lebih jelek dari Negara-negara Barat atau Jepang.
Manajemen energy dan sumber daya alam juga menjadi hal yang amat sensitive. Dunia Islam dikaruniai potensi sumberdaya migas, batubara dan geothermal terbesar di dunia (Amhar 2007). Namun secara parsial keberadaan SDA ini justru sering membuat mereka berlaku tidak efisien, yang kemudian berimbas pada rusaknya lingkungan atau memunculkan konflik dan perang saudara di antara mereka sendiri.
Masalah wanita dan keluarga juga menjadi perhatian yang istimewa. Wanita dan keluarga menjadi benteng terakhir yang memperhatikan nilai dan budaya Islam, dan juga merupakan indikator yang baik untuk menilai keterikatan suatu komunitas dengan Islam. Namun kita harus mengakui, bahwa justru di negeri-negeri Islam, hak-hak yang diberikan Islam kepada wanita dan keluarga justru lebih sering diabaikan daripada di Negara-negara Barat. Di Dunia Islam, kapitalisme justru lebih sering memakan korban wanita dan keluarga, baik secara langsung, maupun tidak langsung melalui kemiskinan, keterbelakangan dan kekerasan.
Terakhir adalah masalah pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi. Kita tidak usah malu mengakui bahwa pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi kita masih tertinggal. Paper-paper ilmiah atau penemuan-penemuan teknolologi masih belum banyak yang dihasilkan dunia Islam. Meski sudah jutaan anak-anak muda dari negeri Islam yang telah menuntut ilmu di Negara-negara maju, mereka belum mapu mengangkat level sains dan teknologi negerinya. Sebagian dari mereka justru memilih tetap tinggal dan berkarier di Negara-negara maju, karena iklim pendidikan dan pengembangan sains dan teknologi di sana jauh  lebih kondusif.
Permasalahan
Masalah-masalah seperti di atas telah banyak didiskusikan dan diseminarkan secara akademis, namun pada umumnya hanya secara parsial. Penyelesaiannya secara terintegrasi masih jarang didengar. Hal ini karena para intelektual di dunia Islam memang masih belum terbiasa melakukan sesuatu di atas atau di luar lingkup akademisnya. Para akademis dididik untuk focus hanya pada bidang kajian yang sangat sempit, sehingga judtru sering kehilangan konteks atau framework yang melungkupi persoalan itu.
Selain persoalan ruang lingkup, para akademisi di dunia Islam juga sering belum memiliki paradigma keilmuan yang khas Islam. Fenomena-fenomena alam yang bersifat empiris memang memiliki hukum-hukum alam yang sama, lepas dari soal apa ideologi atau agama ilmuwan yang menelitinya. Namun seorang muslim setidaknya perlu memiliki paradigm keilmuan seperti ontologi, epistomologi, dan aksiologi Islam yang khas. Akibatnya, sebagian dari mereka terjebak pada “islamisasi sains” yang tak lebih dari mencocok-cocokkan penemuan sains dengan ayat suci, “saintifikasi Islam” yaitu mencari-cari sains di balik suatu ajaran Islam atau “sains ta’wili” yaitu menebak-nebak sains sebagai makna suatu ayat yang sebenarnya mutasyabihat (Amhar 2012).
Memang ada persoalan-persoalan pengaturan manusia yang memerlukan sistem, dan itu memang sebagian diselidiki secara ilmiah. Muncullak ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan dan sebagainya, yang seharusnya harus dapat dipisahkan mana yang merupakan sistematisasi fenomena empiris, dan mana solusi yang muncul dari sebuah pandangan hidup. Ini mestinya menjadi “sains ijtihadi”.
Adapun terhadap fenomena alam seperti fisika, astronomi atau biologi, juga sains yang dibangun di atasnya, Qur’an bukanlah alat penguji kebenaran ilmiah karena memiliki domain yang sama sekali berbeda. Tetapi Qur’an memberikan ratusan ayat yang sebaiknya memotivasi dan menginspirasi ilmuwan muslim untuk meneliti. Pada saat yang sama Islam memberikan berbagai batasan syar’I atas metodologi ilmiah yang dilakukan. Ada beberapa cara pengungkapan ilmiah atau eksperimen yang dilarang karena akan melanggar syara’, misalnya eksperimen terhadap manusia. Dan di hilir, Islam memberikan arah, untuk apa sebenarnya sains dan teknologi itu ada. Islam tanpa sains dan teknologi akan terjajah. Sains dan teknolog tanpa Islam akan menjajah. Islam yang memandu sains dan teknologi akan membebaskan manusia dari penjajahan!
Setiap muslim seharusnya pernah mendengar hadits Rasulullah” Barangsiapa bangun di pagi hari, namun tidak terpikirkan problem umatkau, dia bukan bagian dari umatku.” Setiap orang yang diberi kapasitas lebih oleh Allah SWT, tentu diharapkan memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada umat.
Demikian pula seorang akademisi. Setelah memerintahkan seorang muslim untuk mempelajari alam semesta (QS 88:17-20), Allah memerintahkan untuk memberikan peringatan (QS 88:21-22). Ketika mulai muncul menjalankan perang tanggungjawab keumatan inilah, dia beralih dari sekedar seorang akademisi menjadi seorang intelektual. Cuma mulai dari mana?
Akademisi muslim yang telah merasa terpanggil tanggung jawabnya terhadap umat ini lalu mencoba ikut memunculkan solusi. Namun lack konteks dan paradigma membuat mereka sering terseret pada suatu jebakan “lingkaran setan”. Ini bias berawal dari asumsi yang mendasari tentang apa sesungguhnya akar persoalannya. Tetapi tentu saja tidak masalah bila memang dia merasa hanya bias menyumbangkan sesuatu terkait kompetensinya. Berikut ini adalah gambaran contoh jebakan lingkaran setan.
Ada yang menyangka bahwa umat ini terpuruk karena lemah dalam sains dan teknologi. Karena itu mereka focus pada penguasaan teknologi, membangun lembaga-lembaga untuk meraih keunggulan teknologi, atau mengirim anak-anak muslim untuk belajar teknologi ke negara maju. Apakah upaya ini berhasil? Berapa sarjana Muslim yang telah menguasai teknologi tinggi? Apakah ini berkorelasi dengan kemajuan umat secara keseluruhan? Setelah dianalisis, penguadaan teknologi tinggi tersebut ternyata tidak dapat diaplikasikan, karena kecilnya dana yang tersedia atau kesempatan yang ada untuk mewujudkannya menjadi industry dan lalu menjadi bisnis mandiri yang memicu pertumbuhan ekonomi.
Kalau demikian, apakah seharusnya lebih focus ke ekonomi? Kalau demikian maka yang diperbanyak adalah membangun sector ekonomi dan keuangan untuk permodalan umat. Wujudnya antara lain berupa pendirian lembaga-lembaga pengembangan calon entrepreneur dan pengucuran kredit mikro.
Namun, mengapa sudah banyak pakar ekonomi, tetapi negaranya termasuk Negara miskin? Mengapa negeri kita sangat kaya raya, tetapi rakyatnya sangat miskin? Setelah dianalisi: kekayaan dan kepakaran ekonomi tidak berguna jika orang-orangnya tidak bermoral (berakhlaq), banyak yang KKN atau menjalankan bisnis yang tidak halal.
Kalau begitu apakah ahlaq lebih penting? Apakah focus pada perbaikan akhlaq akan berhasil? Kalau demikian, maka diperbanyak pengajian-pengajian yang menyentuh hati. Diperbanyak kesempatan orang untuk beristigfarm berzikir, atau berdoa bersama. Diperbanyak siraman ruhani di televise atau media lainnya.
Namun mengapa orang-orang yang semula berakhlaq baik, ketika masuk sistem Negara (duduk di legislative, birokrasi, penegakan hokum), atau dunia bisnis, malah lebih sering menjadi rusak, secara sadar maupun tidak?Kalaupun ada yang tetap baik, mengapa justru dia kan teralienasi dan tersingkirkan? Kalau ada yang mencoba sedikit memperbaiki sistem, mengapa mereka justru malah ditendang?
Apakah ini berarti kita perlu melahirkan lebih banyak manusia yang berakhlaq untuk mewarnai sistemnya? Sehingga, apakah mewujudkan pendidikan Islam menjadi focus yang lebih penting? Apakah dengan mendirikan banyak sekolah islam dan pesantren akan berhasil?
Namun setelah pendidikan ini dirintis, sekarang sudah banyak sekolah islam, mutunya justru lebih rendah dari sekolah negeri? Mengapa yang didirikan sekolah islam, tetapi tetap memakai kurikulum yang sama dengan sekolah negeri? Mengapa lulusan sekolah islam kualitas dan perilakunya tidak lebih baik dari sekolah negeri?
Apa arti dari semua ini?
  Ternyata, berbagai upaya yang telah diupayakan intelektual muslim tersebut masih belum menyelesaikan masalah umat. Setiap upaya yang dilakukan seakan-akan seperti masuk ke dalam lingkaran setan yang tak berujung pangkal. Lantas, apa yang seharusnya diupayakan oleh para intelektual muslim?

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)