Pernahkah
kamu mendengar kata-kata ini?
“Wanita sanggup menahan 7 perasaan dalam satu waktu”
‘lebay
njir’ itu kesan pertama ketika membacanya, dan biarpun saya lebay perasa dan suka sastra, tulisan dan puisi
mendayu-dayu macam ‘oh..dirimu yang begini-begitu’ itu gak saya banget. Tulisan
sejenis itu biasanya saya scanning
tanpa mengendapkan apa-apa di kepala , atau sekalimat dilihat selanjutnya
tamat.
Tapi
pada suatu waktu yang ga biasa, tepatnya
ketika kita jadi banyak termenung tentang diri, tentang siapa-untuk apa-kemana
kita setelah hidup, mulailah saya sadari satu hal. Ada satu sifat yang ga biasa
dari saya: cengeng. Untuk mengakuinya
jelas gengsi.
Bagaimana
tidak? Saya dibesarkan sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga, cucu
perempuan pertama dari 18 cucu nenek pihak ibu.
Semasa
SD biasa main bola, lebih memilih main tajos bareng kawan lelaki dibanding
bergosip dengan teman-teman perempuan, bersenjatakan koprol kalau main karet
sudah sampai telinga kawan saya, manjat tiang aula SD Insan Kamil lama, nyaris
setiap hari dibujuk wali kelas melepas handband dan menurunkan gulungan seragam
sampai ke siku yang dirasa keren -__- belum lagi awal-awal SMP yang amat bangga
bertitel karateka, berdasarkan literatur di film-film semestinya saya terbiasa
tangguh-maskulin-apapun yang intinya jauh dari sifat lemah dan kekanak-kanakan,
ya kan?
Sayangnya
teori tinggalah teori, pada kesehariannya inilah yang terjadi:
Jengkel
nangis, marah nangis, sedih nangis, kecewa nangis, merasa bersalah nangis,
bingung nangis, sakit nangis, frustasi nangis, panik nangis, nonton film
nangis, denger cerita nangis, lega nangis bahkan bahagia dan tertawa pun
NANGIS!
Hey,
bahkan untuk ukuran perempuan hal itu kelewat berlebihan!
Kemudian
saya mulai sepakat dengan kata-kata tadi. Benarlah, dalam satu kali tangisan
ataupun diam seringkali merupakan pengejawantahan berbagai macam perasaan.
Benarlah, ‘wanita sanggup menahan 7
perasaan dalam satu waktu’ walau untuk mengurainya satu-persatu sungguh
kesia-siaan yang mengulur waktu.
Jadi, saya tidak mengerti dengan air mata sebetulnya.
Apakah
karena pada slaid kuliah ditulis kelenjar air mata dipengaruhi saraf
parasimpatetik, lantas, ketika saya betul betul tak ingin menangis dalam
menanggapi sesuatu, dia tetap menemui isak?
Mengapa
dia seperti Parmin yang diam-diam durhaka pada majikannya demi bertemu
Surtini-kambing kesayangannya-? Dan tahukah engkau apa yang dijawabnya ketika
saya tanyakan?
Dengan
kalem dia menjawab, “Aku adalah pengingat betapa kamu lemah hey manusia.”
Saya
yang waktu itu sedang minum kopi lantas tersedak, sekian detik kemudian
cepat-cepat membalas, “okelah soal menangis karena sedih, tapi untuk
tertawa?itu konyol!”
Dia
tersenyum.
“Jawablah!
Kau durhaka padaku hey airmata!”
Dia
tersenyum.
“Baiklah,
kalau begitu saat rasa sakit datang. Cobalah jangan ikut keluar. Aku malu
betul.” Suaraku melunak.
Dia
hanya berdehem sambil menarik kilasan memori.
Oya,
saya belum ceritakan padamu kejadian yang menimpa saya dulu..
Saat
kelas 1 SMP saya sering ikut Kang Yayan, pelatih karate yang juga melatih
di SMA Kosgoro dan YPHB, untuk latihan tambahan. Waktu itu, di Kosgoro kami
dibariskan untuk menendang samsak bergiliran. Tibalah giliran saya, mawashi geri tepat mengenai samsak.
‘Hap, bagus!’ucap sang guru. Saya tersenyum sambil berbalik badan ke kiri,
kemudian tanpa bilang-bilang ‘DAAGG’ kaki siswi SMA yang overweight itu justru
menjadikan ulu hati saya samsak. (‘Kakinya tak menurut pada otak!’ jelasnya
belakangan sambil terus menerus meminta maaf).
Tubuh
saya yang saat itu tak lebih dari 40-sekian kilo terpelanting sekian
meter.
Dada
saya luar biasa sakit, saya megap-megap kehabisan napas.
Saya
kira waktu itu sakaratulmaut telah tiba.
Air
mata menetes lambat, saya meracau,”Kang! Sa..hh..kit.. sa-kit..
to..hh..long-in.. hhh ga.. ga-bisa.. ga-bisa.. na..pas..kang!”
rasa
takut memuncak mengingat cerita seorang karateka pro yang meninggal di arena
tanding.
Untungnya
saya salah. Itu bukan sakaratulmaut, beberapa hari setelahnya saya tahui
ternyata itu hal biasa terjadi di dunia perkaratean: berhenti bernafas
sementara, sesak.
Setelah
Kang Yayan melonggarkan sabuk karate dan menenangkan saya, perlahan oksigen terasa
memasuki paru-paru. Serta merta saya menangis sesegukan, air mata yang
membanjir pertanda napas kembali normal. Setelah 3 hari sakitnya tidak hilang,
berceritalah saya pada ibu. Hasilnya? tentu saja izin mengikuti latihan
tambahan beliau cabut. Yah.
“aku
bersyukur bisa menangis waktu itu..”jawabku sungguh-sungguh. Dia terkekeh.
“..tapi,
kau jadi tak berharga kalau keluar terlalu sering..”tambahku. Dia menaikkan
alis, menarik napas,
“Bukankah
kamu sendiri yang berkata,rasa pedih lebih baik dibanding tak merasa apa-apa.
kebas? Hambar? Bukankah kamu sendiri yang suka sekali lirik ,’love hurt.. but its sometimes a good hurt. I
feel like I’m alive..’ kelewat benar katamu. nah aku selalu setia ” kamu
menceramahiku,eh-air mata?
“ya
ya ya ya!” ucap saya dengan nada tinggi.
“ketahuilah
melakrimasi mata sekaligus hatimu itu tidak mudah. Kelak bila kamu buta, kamu
akan syukuri kehadiranku mengingatkan kamu punya mata. Jadi, bersyukur
sajalah..”
Saya
diam, lamat-lamat berkata, “Baiklah, tapi bolehkah saya minta satu hal?”
“ya?”
“
Paling tidak jangan buat saya menangis saat Izrail datang”
Dia
tersenyum penuh maksud. Entah iya, entah tidak.
keren banget ! :) insya Allah akan ada orang yang bahunya tersedia untuk menemani air matamu, dan yang tutur katanya lembut sedingin embun untuk menenangkan hatimu aamiin :)
ReplyDeleteHehe membacanya cukup bikin senyam senyum sendiri, percakapan dengan air mata :')
ReplyDeleteJangan lupa mampir ke blog gw: http://dyasdyoos.blogspot.com
Dikomen ya, difollow juga boleh. Salam kenal.