Peran dan Tanggung Jawab Intelektual Muslim dalam Membangun Peradaban Islam. (Bagian II: Pembahasan & Penutup)


Oleh Prof. Dr. Fahmi Amhar (Peneliti Sistem Informasi dan Spasial, profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan di Indonesia) sebelumnya jangan lupa baca dulu bagian satunya>>  http://naurafauzhara.blogspot.com/2013/12/peran-dan-tanggung-jawab-intelektual.html
semoga manfaat! :D

Pembahasan
Hambatan-hambatan yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi itu karena kita memahami sejarah Nabi belum dalam kerangka mencari inspirasi, bagaimana membangkitkan umat secara mendasar dan tuntas?
Akibatnya kita gagal melihat, apa yang hilang di tubuh umat ini, sehingga mereka sedemikian terpuruk di kancah pergaulan internasional? Padahal mereka masih merasa memiliki Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Kitab yang sama, dan Kiblat yang sama!
Ini karena ada sesuatu yang hilang, yaitu penerapan Islam yang sama!
Islam diterapkan di masyarakat oleh tiga pilar: ketaqwaan individu, kontrol sosial masyarakat, dan oleh Negara. Setelah didalami, ternyata Islam memiliki lebih banyak kewajiban yang berupa fardhu kifayah daripada fardhu ain. Yang fardhu ain juga lebih banyak yang baru sempurna dengan suatu aktivitas kolektif.
Contoh: sholat adalah aktivitas individual. Tetapi bagaimana menciptakan suasan yang kondusif, agar orang termotivasi untuk sholat, misalnya dengan penyediaan fasilitas yang baik dan memadai, pengaturan jadwal kegiatan, dan pengumandangan adzan pada waktunya dll, adlah tanggungjawab kolektif.
Nah saat ini, dari dua pilar itu tinggal satu yang tersisa, yaitu ketaqwaan individu, itupun relative sedikit dibandingkan populasi. Adapun kontrol sosial sekarang sudah sangat kabur. Sudah puluhan tahun kultur yang ada hanya mentolerir pengamalan ajaran Islam, bukan memotivasinya. Yang mengabaikan kewajiban atau melanggar larangan agama semakin merasa biasa-biasa saja. Bahkan sebagian hal-hal yang diwajibkan oleh Islam masih memerlukan ijin untuk diterapkan. Inilah opini yang saat ini berkuasa.
Contoh paling aktual adalah jilbab. Dulu jilbab tidak boleh ada di pasfoto ijazah atau KTP. Sekarang sudah ditolerir, kecuali di kepolisian. Para polwan masih menunggu SK untuk jilbab sebagai pakaian seragam. Padahal justru di Negara-negara sekuler seperti Amerika atau Swedia, sudah lama polwan muslimah di sana bias berjilbab, walau juga tidak didorong.
Inilah opini umum yang sekuler dan liberal. Disebut sekuler adalah tatkalat orang sampai beranggapan bahwa manusia lebih tahu urusannya dan tidak perlu membawa-bawa Tuhan ketika berbicara tentang pengaturan masyarakat. Setelah masyarakat memisahkan Islam dari persoalan kehidupan public, maka yang terjadi adalah: di satu sisi lain muncul liberalism (yaitu yang untuk urusan politik, ekonomi, peradilan, pendidikan, pergaulan dan hubungan luar negeri tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan).
Sedangkan Negara, yang mestinya tinggal memaksa mereka yang ketaqwaanya taupun control social di lingkungannya belum mendorong menaati Islam, justru saat ini hanya mengikuti opini tadi. Demokrasi adalah doktrin bahwa hokum atau aturan bermasyarakat harus diambil dari kehendak rakyat. Ketika opini umum yang dominan di tengah rakyat masih sekuler dan liberal, otomatis demokrasi hanya akan menghasilkan hokum yang sekuler-liberal. Pemilu di beberapa negeri Islam membuktikannya.

Apalagi bila demokrasi ini sudah bias dengan kepentingan para sponsor dan pemainnya. Para sponsor ini mampu mebayar media, pengamat, konsultan politik, LSM, hingga para penegak hokum yang bias disuap. Para sponsor ini adalah kaum kapitalis hitam, baik domestik maupun asing, dan mereka memandang aktivitas politik selayaknya investasi biasa. Sebaliknya, para pemain ini memandang politik hanya sebagai pertualangan untuk mencari keuntungan, bukan aktivitas untuk melayani urusan publik. Akibatnya demokrasi akan tersandera tiga kali: pertama oleh opini sekuler-liberal, kedua oleh dominasi para kapitalis hitam, dan ketiga oleh para petualang.
Kalu kita mempelajari sejarah Nabi dalam konteks transformasi masyarakat, kita kan melihat bahwa Nabi melakukan perubahan yang fundamental di tiga aspek tersebut. Nabi mengubah individu dengan menanamkan tauhid. Selanjutnya Nabi membalikkan opini umum di masyarakat dengan menyodorkan ayat-ayat yang bertentangan dengan opini tersebut.
Oleh sebab itu, ketika pada masa kini, opini umum yang dominan dan bertentangan dengan ayat-ayat suci adalah sekulerisme dan liberalism, maka tugas para intelektual juga untuk membalikkan opini ini. Sekulerisme-liberalisme sudah dari awal bertentangan dengan tauhid.
Proses transisi pembalikan opini ini tentu memerlukan proses yang panjang dan menyakitkan. Namun ini semua proses yang perlu dilalui, sampai didapatkan suatu “massa kritis” yang siap memanggul beban perubahan.
Setiap perubahan selalu dimulai dengan satu orang dengan sekelompok kecil pengikutnya sebagai ‘pioner’ yang tak lebih dari 0,5% populasi. Kemudian mereka akan diikuti oleh kelompok ‘early adopters’. Jumlahnya akan mencapai 5%. Selebihnya perkembangan akan bergulir cepat, sehingga sebagian besar populasi akhirnya kan mengikuti sebagai ‘early majority’. Kemudian akan ada sedikit sisa yang ketinggalan (‘laggard’) yang tak akan sampai 1%. Sepertinya sunatullah di mana-mana memang begitu.
Massa kritis ini adalah mereka yang memang siap dengan segala risiko sebuah transformasi social. Tidak ada transformasi social yang langsung dapat dinikmati. Selalu aka nada masa-masa sulit, masa-masa kurang tidur, masa-masa penuh ketakutan, kekurangan dan ketidakpastian.
Disitulah peran dan tanggungjawab yang harus diambil alih para intelektual. Merekalah yang harus menginspirasi para pemimpin politis agar maju, mengambil alih tanggungjawab memimpin masyarakat menghadapi masa-masa yang berat.
Bila para intelektual ini lebih cinta dunia dan takut mati, maka para pemimpin pun akan menjadi lemah dan akhirnya rusak. Kala pemimpin rusak, maka umatpun akan rusak. Sebaliknya, jika para intelektual ini lebih mencintai Allah dan mati syahid, bila mereka tidak takut menderita, maka para pemimpin pun akan menjadi kuat, menjadi besar hatinya, dan berusaha menjauhi kerusakan. Han jika ada pemimpin-pemimpin yang seperti ini, maka umat pun akan bisa diperbaiki, karena ada teladan yang bias dipercaya. Umatpun akan bias dibangkitkan, dan bias diajak bergerak menuju tugas sejarahnya!
Dan sebagaimana sebuah pekerjaan raksasa, perubahan ini tidak bisa tidak kecuali secara bersama-sama dalam sebuah jejaring (network). Inilah dakwah berjama’ah, di mana para intelektual akan saling mengisi, saling memperkuat dan saling mengoreksi.
Penutup
Inilah saatnya kaum intelektual untuk memutus lingkaran setan itu. Lingkaran setan itu tetaplah akan menyesatkan manusia, selama tidak ada orang-orang yang memilih jalan taqwa daripada jalan durhaka.
Inilah saatnya intelektual muslim menyatukan Visi dan Missi hidupnya. Visi hidupnya yang pertama sebelum menjadi intelektual adalah senantiasa menjadi hamba Allah, yang dihadirkan ke dunia, untuk menjadi yang terbaik, untuk menjadi rahmat seluruh alam.
Inilah saatnya, intelektual muslim menyadari, bahwa mereka adalah bagian dari umat yang terbaik yang harus menghadirkan ke dunia ini karya-karya terbaik, yang memiliki tanggungjawab untuk mengingatkan manusia, menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar dan membuktikan keimanan kepada Allah.
Inilah saatnya mereka duduk bersama untuk mengintegrasikan dan mensinergikan seluruh potensi yang mereka miliki, untuk menyelesaikan problematika umat tersebut.

1 comment:

Berikan komentar kamu :)