Kenapa menyalahkan angin?


“Ada yang salah dengan pembinaan, orang-orang semakin individualis..”

Zona tambahkan dalam hati, bukan salah pembinaan. Tapi memang anak jaman sekarang cenderung begitu. Yang tidak dibina pun banyak yang jauh lebih individualis. Tapi hey, bukannya penanggung utama kewajiban membina itu orang tua?

“Pintar itu baik, bagus, tapi kalau tidak peka terhadap sekitar itu bahaya.” Ayah melanjutkan ceramahnya. Seolah saya pintar saja, Zona lagi lagi membatin.

“Saya ada banyak janji dengan teman, dengan senior, dengan guru ngaji. Teman saya sedang butuh saya.”akhirnya Zona angkat bicara.

“Nah itu yang bahaya, orang lain didahulukan dibanding keluarga. Mindset yang salah.”

“Tapi keluarga di sana tak kenapa-kenapa kan?”

Ayah Zona menggelengkan kepala keras-keras, kesal.

“Di sana tidak ada sinyal, saya mesti mengerjakan tugas.” Zona berkilah.

“Bila niatnya sudah tak nak, seribu daleuh yang keluar..” Ayah menggerutu.
***
Aku mengenal Zona suatu hari di musim semi, dia duduk sendiri di tepi danau sambil memandangi langit. Kesan pertama itu mengingatkanku pada film-film dimana si tokoh utama yang super keren gemar menyendiri-atau bersekian dengan siapalah kawannya. Begitu klise.

“Hey..” ucapnya setelah 10 menit kami duduk di tepi yang sama, menatap langit yang sama. Aku menoleh, wanita yang cantik.

“Saya Zona. Namamu? Saya baru sekali ini melihatmu..” Perempuan itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. Dia tidak tinggi, giginya tidak rapi, tapi keseluruhan dia manis.

Eh? Aku.. er Saya Saki. “ Aku gelagapan meniru Zona menggunakan ‘saya’ sebagai kata ganti pertama. Formal sekali.

“Jadi, Saki.. kemana saja kamu selama ini?” dia terkekeh.

 “Em, aku tinggal di Kota Seribu Bayangan (“Waw”, ucap Zona) ...sedang berkunjung ke rumah bibiku di sini.” 

“Oh.. danaunya indah ya?” 

 “Eh ya, tapi aku lebih tertarik langitnya.” Kataku berbohong, mencoba memancingnya bicara. Seperti kataku di awal tadi, Zona serius memandangi langit. Dan sejujurnya aku bingung harus bicara apalagi.

Zona benar-benar antusias,”Oh ya? Saya juga suka sekali langitnya.. tapi memang di atas rumah bibimu tidak ada langit, eh?” dia terkekeh dengan pertanyaannya sendiri. Aku tertawa kecil, matilah jawab apa aku!

“Ada tentu saja. (sambil nyengir untuk menutupi kekikukkanku) tapi di sini terlihat lebih indah, karena bersanding danau barangkali.” Luar biasa. Kemampuan ngeles-ku memang selalu bisa diandalkan.

“Hem, ya.. Lihatlah! (Zona menunjuk langit biru bercampur merah-oranye-kuning-putih. Setidaknya, langit memang betul-betul indah sore itu.) Maha besar Allah tidak membuatnya retak-retak dan runtuh.” 
Aku terdiam mendengarnya berkata begitu, dia ini penyair atau apa, eh? Seliarnya aku membuat puisi tentang langit, pasti tak jauh dari ‘langit biru, awan putih berarak seperti kapas, bintang kecil berkelap-kelip, andai aku bisa terbang’. Padahal Zona hanya berkata-kata bukan bikin puisi, tapi...

“Jadi, daritadi kamu sibuk mengamati apakah ada retakan di langit?” terkaku. Zona tertawa.

Menit-menit kemudian Zona mendekat untuk duduk di sampingku. Berjam-jam kami habiskan mengobrol. Kuakui, dia betulan cool -cool dalam versi lain. Berbeda dengan tokoh utama film-film yang cool karena tak banyak bicara, Zona cerewet sekali dan wawasannya begitu luas. Ia bercerita dari langit-ke bumi-ke masalah kita sehari-hari-bicara satir kemudian menggebu-gebu-kemudian melucu. Dia memang ajaib.
***
“Tanggal 28-29 kamu ada acara apa?” Ibu bertanya pada Zona.

“Tidak tahu.”

“Ikut kamilah arisan keluarga di Kota Seribu Kenangan.”

Zona berpikir diam-diam, dia tidak rindu keluarga di sana -dia bahkan tidak merasa apapun pada siapapun, hatinya kebas- tapi sopan santun untuk silaturahmi jadi pertimbangan. Entahlah, jawabnya masih dalam diam.

“Bagaimana?” Ibu bertanya lagi.

SMS masuk di handphone, ‘dik maaf, dua hari ini kita gagal janjian. Tanggal 28, ya?’ Beberapa menit setelahnya SMS kedua masuk,’Zona, udah tau kan? Hera sakit dia gamau makan dan ga bicara apa-apa. Tolong kamu yang bujuk, tanggal 29 ke rumahnya gimana?’ Zona membacanya cepat, dia teringat SMS lain kemarin sore, guru ngajinya mengingatkan kajian hari sabtu sore, tanggal 28. Adapun satu senior menagih tugasnya terkait organisasi, seharusnya dikumpulkan kemarin.

“Ga ikut.” Ucap Zona akhirnya.

“Kamu ga rindu pada nenekmu? Sudah tua..” Ibu merayu. Zona membatin, liburan ini saya ke sana.
Ibu mengadu pada Ayah. Esoknya ayah menceramahi Zona.
***
Aku bingung.
Kemarin pagi saat berkunjung ke rumah bibiku, kutanyakan padanya alamat Kampus Monokrom, tempat Zona kuliah. Bibi bilang, ‘sekali naik bus kemudian jalan kaki sebentar juga sampai’. Aku berangkat pagi itu ke Kampus Monokrom, sekedar iseng-ingin mengejutkan Zona-. Setahuku Zona kuliah di jurusan Bukan Ecek Ecek, maka kantin di sekitar itulah tujuan pertamaku.
Sebenarnya aku agak kaku bertemu orang-orang asing, tapi bergaul dengan Zona membuatku sedikit lebih santai. Aku duduk di samping seorang laki-laki yang paling terlihat tidak sibuk di segerombolan mahasiswa, sedang menunggu makanan barangkali. Aku berdehem kemudian memberanikan diri bertanya, “Permisi, apakah kamu mengenal Arizona? Tingkat 3, jurusan Bukan Ecek Ecek?”
Laki-laki itu menoleh, “ oh yaya, saya kenal.. Zona? Dia teman sekelas saya, ada yang bisa saya bantu?”
“Oh-eh bukan. Aku.. eh saya boleh tanya dia orang yang seperti apa?”
Laki-laki itu mengernyit, temannya yang wanita turut mendengarkan sekarang. Alamak, basa-basi memang bukan kelebihanku!
“Baik.. cantik.. cerdas, kenapa?” dia tersenyum ramah. “friendless..” temannya yang wanita menambahkan, seketika itu si lelaki melempar pandangan tidak percaya pada si wanita.  “apa? Benar kan?”
“Dia hanya tidak suka kumpul-kumpul Lisa..”
“Soliter. Kemana-mana sendiri.” Wanita yang disebut Lisa itu menambahkan dengan nada sarkas.
Jelas sekali si laki-laki merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini, dia beralih padaku lagi. “Jadi hey, siapa namamu?” dia tersenyum.

Bukannya kamu orang yang ramah, Zona?
***
“Kenapa menyalahkan angin?”

“Apa?”

“Kamu. Kenapa menyalahkan angin ketika jemuranmu berterbangan?”

“Supaya hatiku lebih lega. Daripada menyalahkan keteledoran sendiri yang tidak menggunakan penjepit? Kurasa semua orang begitu..” Jawabku sekenanya sambil menaikkan bahu.

Zona terdiam,“Orang tua juga begitu. Selalu menyalahkan sekolah dan wadah tempat saya menuntut ilmu saat  saya sulit diatur.. Jadi begitu ya?” 

Aku tak tahu harus menjawab apa, Zona. Kamu selalu ingin tahu.

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)