FULKI
(Oleh:
Fathia Arifa Hasanah)
“Kebenaran
itu satu, Syalimah. Ia menjadi berbeda karena ditafsirkan masing-masing.” Katanya pada
satu waktu yang aku tak ingat tepatnya kapan. Yang disebut Syalimah adalah
sesosok gadis berkerudung jingga di belakangnya. Syalimah berhenti, langkahnya
bertabrakan dengan sepatu kawannya itu. Ia cepat-cepat membalas,”Itulah mengapa kubilang kebenaran itu relatif,
ki!”
“Tidak
Syalimah, maksudku ia berbeda sebab ditafsirkan oleh masing kita. Namun sejatinya
ia satu. Utuh. Mutlak. Bukan relatif.” Suaranya pelan dengan penekanan pada
kata-kata tunggal yang disebut belakangan. Syalimah melambai putus asa, ia melanjutkan
langkahnya mendahului masuk ke pintu belakang asrama,” Fulki, terserahmu sajalah..”
Fulki menelengkan kepala, membiarkan
temannya berlalu dan menghilang ke dalam asrama. Dia berbalik menghadap kaca
hitam di sampingnya. Kaca hitam itu adalah jendela gudang perabotan di belakang
gedung asrama A2. Dan seperti kebanyakan mahasiswa TPB lainnya yang tinggal di
asrama, Fulki berkaca di situ, tanpa tahu bahwa aku tepat lurus menatap di
baliknya.
* * *
Entah sejak
kapan aku memutuskan untuk tidak peduli dengan segala tetek bengek urusan penghuni asrama yang silih berganti tiap tahunnya.
Asrama memang hanya diperuntukkan bagi mahasiswa tingkat pertama, atau biasa
kita sebut tingkat persiapan bersama (TPB). Sehingga ketika mahasiswa baru itu
telah melunasi tahun pertamanya angkat kakilah mereka digantikan mahasiswa baru
berikutnya, terus begitu berulang-ulang. Mereka beragam, berubah wajah, tapi
kebiasaannya tak banyak berubah. Tiga bulan pertama udara asrama akan dipaksa
meneruskan keluhan-keluhan, juga berbau asin saking banyaknya yang menangis. Oh,
jangan dikira hanya anak perantauan yang begitu, mereka yang sebenarnya
berdomisili tak sampai lima belas menit dari asrama pun turut serta! Tiga bulan
setelahnya dinding akan sering bergetar bersamaan asrama yang mulai penuh
teriakan. Bulan-bulan berikutnya bisik-bisik kian riuh, yakni seputar lelaki,
film terbaru, sampai membahas keburukan sesama penghuni asrama. Ibarat fashion yang terus berulang, kebiasaan
itu lama lama membuatku letih dan bosan memperhatikan. Setidaknya sampai gadis
bernama Fulki ini hadir.
Fulki merupakan perwujudan sempurna gadis
tujuh belas tahun abad 21. Telepon genggam yang tak pernah lepas barang sehari,
begitu lekat dengan mata dan tangannya, gaya berjalannya yang petantang-petenteng –belakangan kutahui karena
saudaranya yang kebanyakan lelaki-, bicaranya yang blak-blakan. Tak ada hal spesial yang membedakannya dengan
mahasiswa baru di tahun itu, kecuali satu: hobinya menceritakan ide-ide yang
kurang familiar bagiku.
“Syalimah..“ Ucapnya
tiba-tiba dengan gerakan tangan bak murid SD membaca puisi. “Apa?” Syalimah yang baru saja kembali
dari kamar mandi menatap Fulki heran.
“Menurutmu
apa benar ungkapan bahwa hati nurani tak pernah salah? bahwa kita harus
tanyakan semuanya pada hati nurani masing-masing?”
Syalimah terkekeh, itu kali pertama dia
mengenal karakter terdalam dari kawan sekamarnya : Fulki ternyata puitis
sekaligus filosofis sekali. “Iya.
Lihatlah di film-film, semuanya berjalan baik saat kita mendengarkan hati
nurani. Di twitter quote keren semacam itu diretweet banyak banget loh. Memangnya
kenapa? Lagi galau ?”
“Nggak,
cuma penasaran. Hati nurani itu lebih ke perasaan ya?”
“Mungkin.”
“Apa
hati nurani kita sama?”
“hmm..karena hati nurani selalu benar, mungkin
iya..”
“Perasaan
kita sama gitu?”
“…”
Syalimah
membelakangi Fulki untuk memasukkan pakaian kotornya ke dalam ember.
“Syalimah..”
“Tak
tahulah, ki..”
“Syalimah..”
“Apalagi?”
Syalimah
kini berbalik setengah gusar.
“Itu..tolong
lemparkan..mau mandi..” Fulki menunjuk rak handuk. Syalimah menengok ke
sebelah tempatnya berdiri, direnggutnya handuk berwarna hijau muda, kemudian
dilemparkan pada Fulki yang membalas dengan cengengesan dan senandung,”Terima kasih abah~”
* * *
Persis seperti kataku tadi, ketika memasuki
bulan kelima dinding-dinding asrama jadi sering bergetar. Apa semua perempuan akan mati bila tidak berteriak, eh? Pagi ini kericuhan
itu hadir di lorong 8. Tersebabkan dekat sekali dengan kamarku, sehingga tak
mungkin untuk mengelak dan berpura-pura tidak mendengar, ya terpaksalah aku
mulai menyimak teriakan-teriakan dan meruntutkannya.
“Alah..gausah ngeles deh lo! Ngaku aja! Gue
udah curiga dari dulu kenapa lo selalu tidur paling awal dan hilang di pagi
buta. Lu pasti ngambil hape gue pas kita semua masih pada tidur kan?!” Seorang
gadis dengan rambut keriting dan pakaian tidur berkacak pinggang pada satu yang
telah berpakaian rapi. Keduanya berbicara dengan nada bergetar, jelas sekali amarahnya
sedang di puncak.
“..sumpah
Lit, saya mah ke sinih mau kuliah. bukan buat maling. Amit-amit jabang bayi.”
Suci menatap nanar pada kawan sekamarnya, Alitya, yang tak lain perempuan
keriting yang berteriak-teriak tadi. Beberapa penghuni sekeliling kamar mereka
mulai keluar dan berkumpul. Sebagian menatap kasihan campur curiga pada Suci,
sebagian lain terang-terangan memandang sinis. Pasalnya Alitya si borjuis merupakan
teman bergosip mereka. Ia terkenal supel dan royal, berbeda dengan Suci yang
cenderung introvert dan seringkali
dengan sengaja menghindari ‘perkumpulan’ mereka. Fulki dan Syalimah baru saja
tiba dari membeli sarapan di kantin asrama Purple
Corner, masih menenteng-nenteng sandal dan keresek akhirnya mereka ikut
bergabung dalam masalah pelik tetangga kamarnya itu.
“Bener
Ful, Syal. Saya mah bangun buat tahajud tadi malam lanjut belajar, setelah itu
langsung lari pagi dan mandi. Ini mau kuliah..” Suci berusaha meyakinkan
keduanya. Syalimah mengangguk dan berkata pada Alitya,“Kita gak bisa langsung menghakimi gitu sih Lit, mesti ada bukti..”
“Kemarin
gue denger dia ditelpon gak dikirim uang lagi Syal, uang ortunya buat biaya
operasi kecelakaan adeknya. Dia nangis malah kebingungan nyari uang dari mana. Ngomong
gitu berulang-ulang. Hape gue tuh lima juta kalau dijual lagi, keluaran bulan
lalu..”
Alitya mendengus.
Peristiwa berikutnya tak dapat
kuceritakan, sebab segera aku teringat keputusannku dulu untuk mencari
kesibukan lain yang lebih berharga dari sekedar terlibat masalah bocah-bocah
penghuni asrama. Terlebih aku tak mengenal mereka semua, jadi entahlah siapa
yang berbohong, entah siapa yang mencuri atau teledor, Suci atau Alitya? Mungkin
hanya Allah, malaikat beserta jin penghuni asrama yang tahu. Hahaha, padahal
aku di sini juga, tapi tak tahu dan tak mau tahu.
* * *
Tapi aku mau tahu apa yang Fulki
bicarakan tentangnya. Di dalam kamar, ia lagi-lagi bertanya pada Syalimah, “Aku yakin 80% kamu di pihak Suci, ya kan?
Mengingat kebiasaan yang ia ucapkan pernah kamu lihat sekali waktu?” Fulki merebahkan
badannya di atas kasur.
Syalimah tiduran di sampingnya sambil
menatap langit-langit ranjang, “Entahlah..maksudku
dia memang pekerja keras, kulihat rajin sekali. Tapi tak ada satupun dari kita
yang benar-benar mengenalnya, bukankah?”
“Eeh?” Fulki
terperanjat.
“Jangan menilai kebenaran dengan perasaan,
Syalimah.. Kuakui kita memang lebih dekat dengan Alitya dibanding Suci yang
tertutup itu. Tapi tipikal perasaan itu subjektif dan labil, tak layak untuk
jadi sandaran mana yang benar mana yang salah.”
“Lantas apa?
Hati nurani? Tadi itu hati nuraniku yang bilang..”
“Aneh sekali,
kurasa hati nurani itu sebenarnya perasaan, Syalimah.”
“Kenapa
demikian?”
“Sebab hati
nuraniku berkata sebaliknya. Akhirnya hati nurani terlampau subjektif kalau begitu kan?”
“Berarti kebenaran itu relatif..”
“Kebenaran itu
satu, Syalimah. Ia berbeda karena ditafsirkan masing-masing.” Fulki
menggumamkan kalimat itu sambil lamat-lamat berpikir. Aku yang menguping takjub
sendiri dibuatnya. “Jadi kenapa kita
tidak berpegang pada satu yang solid? kenapa masih mengandalkan perasaan? Quote
yang dipopulerkan jaman sekarang itu ternyata menjauhi kebenaran..huaah!”ujar Fulki lebih pada dirinya sendiri.
“Let’s think..” Syalimah menutup
diskusi itu dengan mata terpejam. Ia tertidur pulas.
* * *
Itulah hari saat aku melihat Fulki
dan Syalimah berkerudung jingga melintasi jalur belakang asrama A2 sambil
mendebatkan ‘kebenaran itu relatif atau bukan’. Itulah saat aku menatap lurus
Fulki di balik kaca hitam. Matanya yang jujur dan berani seolah menerobos partikel
solid di hadapannya, memandang tajam ke mataku dan berkata,’Kamu setuju kan?’
‘Entahlah,
mungkin aku baru bisa setuju setelah membuktikannya lima puluh tahun lagi.’
‘Di mana?Di
sini?’
‘Sampai asrama
dibongkar dan gudang perabot ini digusur, ya..aku masih di sini.’
Sampai kini, lima tahun setelah Fulki
meninggalkan asrama, aku masih saja malas-malasan di gudang perabotan, terlalu
malas untuk peduli. Mungkin empat puluh lima tahun lagi.
0 komentar:
Berikan komentar kamu :)