Espent

Ini ga menang, iyalah lagi praktikum malah finishing nulis ginian. tema Espentnya 'Solidaritas Tanpa Batas'. Karena solidaritas antar manusia terlalu mainstream, akhirnya aku bikin begini. serba kurang kayanya daripada ga ada yang baca, dishare ajalah ya. barangkali ada manfaatnya. Sok mangga dibaca, semoga paham hahaha :)

Zona
Oleh : Fathia Arifa Hasanah
Sewaktu pertama kalinya mengendarai motor ke kampus, aku merasa sangat percaya diri. Pedal starter yang diinjak mengeluarkan derum bak auman raja hutan yang baru dilantik: gagah dan sombong. Bila saja ini adegan drama, maka favoritku ialah momen saat tokoh utama akhirnya tiba dengan bunyi ban berdecit kemudian melepas helm yang dikenakannya. Silau matahari beradu rambut kusut masai ditambah tiupan angin, wah.. pria manapun, kurasa, akan tiba-tiba merasa paling tampan sejagat raya. Nah, engkau bayangkan saja bagaimana kerennya kalau aktor utama tersebut berpotongan rambut 1:5 dengan wajah serupa Nicolas Saputra. Kalau kau berjumpa dengannya, orang itu adalah aku. Haha.
Akan tetapi, hari ini perasaan jumawa itu tiba-tiba susut. Tanpa disangka-sangka, si Jaka, motor perak yang biasanya kubanggakan justru mengundang bahaya.
 “WOY! LU BERENTI WOY!” Ada dua pasang lelaki bermotor di belakangku, masing-masing berusaha menyalip ke kanan dan kiri si Jaka, berniat memepetku di tengah rupanya. Mereka yang dibonceng berteriak sambil mengacung-ngacungkan samurai ke arahku. Mesin si Jaka di bawahku meraung-raung.
“BERHENTI GAK LO SEBELUM GUE TEBAS!”
Kulirik spion dengan panik. Sambil memercepat laju si Jaka mulutku tak berhenti komat-kamit menyambar doa mana saja yang terlintas. “Allahumma bariklana..Aish, bismillah.. bismillahirrohmanirohim ya Allah tolongin.. Bismillahimajreha..” Jaka bertahanlah! Please! Please! Sampe belokan depan kita selamat! Allah! Allah!
Satu motor berhasil menyalip. Kemudian, “BRUKKKKK!” salah satu dari komplotan begal menendang knalpot si Jaka dari samping. Seketika itu kami hilang keseimbangan dan jatuh terjerembab, menyisakan ban-ban yang berputar di udara.
***
Januari 2015.
Gilang yang seminggu ini dirawat karena tifus tiba-tiba teringat bahwa besok adalah batas waktunya untuk pindah. Menurut kabar yang beredar, kosan lamanya akan dirata-tanahkan. Jadilah kami, kawan-kawan sesama pengurus himpro mengepak barang-barangnya ke kontrakan baru.
 Agaknya benar juga kata orang kalau waktu itu relatif, bisa terasa amat cepat jika dihabiskan untuk bermain-main. Begitu pula yang terjadi pada kami. Saking serunya, tahu-tahu jam tangan digitalku berbunyi di pukul 11 malam. Di situ barulah aku sadar bahwa Samsung Core biruku tak ada.
Missed call, buru miskol!” ucap Badi menepuk punggung Haris. Sejurus kemudian kami  serius menyimak sekeliling demi mendengar nada-nada menyelak dari handphoneku. Tiga kali panggilan nada sambungnya begitu-begitu saja, sebaliknya nada dering ‘One Ok Rock’ yang familiar justru tak kunjung terdengar. Fix sudah, sejak awal hpku memang tak terbawa. Baru saja aku akan membunyikan keluhan ketika tiba-tiba bunyi sms masuk berturut-turut di hp Haris.
‘Sebentar lg lampu padam.’
‘…’
’..gitar putih akan jatuh’
Tiga buah pesan ganjil-dengan satu di antaranya berupa SMS kosong- yang datang sekaligus membuat kami terkesiap. Awalnya Haris diam, sampai Badi membaca keras-keras nama pengirim pesan, Zona, yang tak lain adalah aku, ia mencicit, “Hah..?”
  Rasa penasaran kini berganti sensasi aneh yang tak dapat dijelaskan. “Gitar putih.. Gitar putih punya lu maksudnya, ris?” Tanyaku. “Entah.. kalau iya pun gitar gue ada di sekret, Na.”
“Siapa yang masih di sekret malem-malem gini?” Suara Badi bergetar.
“Anjir..” Haris berkata lagi,”Anjir..”. Kami bertiga saling bertatapan melihat kunci sekret di genggamanku.
“Yaudah, gue ambil dulu deh.. subuh bokap minta dijemput di bandara.”
“Janganlah, gila! Besok aja sih, palingan si mang Jaja iseng gara-gara kita lupa ngunci pintu sekret.” Haris mencoba berlogika, padahal tak sampai 5 menit yang lalu ia beranjir-anjir, jelas sekali berpikiran aneh-aneh.
”Iya Zon, udah malem banget ini. Besok aja..” dari ekspresi wajahnya, Badi terang-terangan cemas campur takut.
Bukan cerita baru di kampus bahwa bangunan tua yang digunakan jurusan kami merupakan bangunan angker. Berbagai cerita horror mulai dari mahasiswa gantung diri, tuyul, kuntilanak dan macam-macam kesaksian aneh selalu diwariskan ke junior-junior. Aku sendiri termasuk yang tidak begitu peduli dengan omong kosong semacam itu. Berbeda denganku, Badi, Haris, Gilang dan sebagian besar mahasiswa justru berani bersumpah macam-macam demi tak sendirian di atas jam 6 sore. Yang terbaru adalah kisah Badi, semester lalu dia mengaku tak sengaja tertidur sepulang kuliah sore di dalam sekret himpro. Bangun-bangun menjelang isya, ia sudah pindah tidur di dekat pohon beringin yang letaknya tak begitu jauh dari sekret. Itupun dibangunkan satpam yang sedang ronda keliling. Terang saja, Badi shock dan bersumpah tidak sudi berjalan-jalan sendirian lagi. Tentunya kondisi para mahasiswa penakut begini sungguh merepotkan. Saat ada logistik acara yang tertinggal di sekret, maka hanya aku dan segelintir orang yang mau mengambilkannya. Huh.
“Justru itu! kalo besok malah ga ada? Kalo keburu ilang? Kalau taunya itu maling, bukan Mang Jaja? Barang-barang di sekret ga aman dong.” Jawabku bermain logika.
“Nah ituu… itu lebih ga aman Zona! Kalau beneran maling gimana? Bahaya! Ah lu susah amat dibilangin.” Ujar Badi gemas. Sebenarnya ia sudah mau membawa-bawa kisah ajaibnya lagi, tapi menatap mataku dia langsung menunduk dan menelan ludah. Mungkin ia ingat bahwa aku dulu mencak-mencak tak terima mendengar alasan berbau supranatural sebagai argumen.
“Ya gue datangnya bareng satpamlah! Udah selow aja sih..”
“Na..”
“Ah udah diem”
Sekian menit kemudian aku sudah ngebut bersama si Jaka menerobos malam.

***

Februari 2015
Barangkali bumi sedang demam. Bahkan meski hari telah gelap dan berangin pun masih tetap saja terasa sisa hawa panas siang hari. Itulah mengapa aku yang biasanya hanya nongkrong di pohon-pohon beringin kesayanganku mulai gerah dan jalan-jalan ke sekitaran lapangan parkir. Tak seberapa jauh dari tempat yang biasanya penuh kendaraan itu, ada sebuah ruangan ukuran kira kira 4 x 5 meter dengan pintu terbuka ke dalam. Aku berlari menginjak ilalang untuk segera sampai ke sana. Berjingkat-jingkat supaya tidak begitu banyak menimbulkan suara. Suuut! Ada seseorang yang ingin aku mata-matai.
Sudah sebulan sejak pertemuan tak disengaja malam itu, aku jadi lebih sering memperhatikannya. Laki-laki dengan jins belel, kemeja digelung serta alis wajah yang tegas. Kawan-kawannya --yang penakut itu hahaha— biasa memanggilnya dengan ‘Na’ atau ‘Zon..’, belakangan aku tahu namanya Arizona, mungkin blasteran? Entahlah, ah lagipula bukan itu yang membuatku tertarik padanya.
Seperti sore-sore kemarin, hari ini Zona berjalan sendirian masuk ke dalam ruangan itu. Sekarang kuperhatikan lagi dia sedang memegang sesuatu di tangannya. Oh..buku. Zona menekuri buku ‘Jalan Baru Islam’ bersampul hijau-biru itu dengan serius. Aku mulai mondar-mandir tak sabar. Memandanginya sebulan terakhir ini membuatku ingin terang-terangan mengajaknya berkawan. Itu buku jenis apa, Zona? Serukah? Mengapa kamu membacanya? Bisakah kamu ceritakan apa isinya?
Kilasan memori kembali diputar dalam pikiranku, flashback. Saat pertama kalinya aku menyadari sosok Zona, yaitu suatu malam yang sebenarnya sudah kelewat  larut. Pukul setengah 11 kalau tak salah --apa peduliku juga soal jam-- ia datang ke ruangan yang sama dengan tempatnya sekarang membaca buku. Bedanya, malam itu aku sedang berada di dalam dan Zona tengah berdiri dibalik pintu. Karena terkejut, aku yang sedang memainkan hp entah milik siapa, lekas membuat suara-suara aneh. Pintu masih terkunci. Bukannya lari ketakutan, ia justru menerobos masuk. Aku terkesiap dan melengos keluar. Di jalan pintu kami berpapasan. Ah benar-benar deh, kenapa pula menceritakannya saja membuatku berdebar-debar!
***
Maret 2015
Ribut-ribut apa ini?
Berbondong-bondong mahasiswa-mahasiswa itu mengeluarkan motornya berbarengan. Mereka pulang sekaligus, berlima, bertiga belas. Suara mesin bercampur gelak tawa dan teriakan menambah rasa jengkelku atas suasana magrib yang sudah panas. Sambil bersedekap, kudengarkan saja jeritan-jeritan tak tahu diri mereka.
“WOY JO! IKUT KONVOI GA LO?!!”
“HAH? IYA IYA BENTARAAN~”
“BURU!”
“TUNGGUIN GUEE! PLIS, GUE TAKUT DIBEGAL~”
“Begalnya juga takut kali sama lo..hahahaha” Beberapa orang terkikik, nampaknya senang betul. Jin daerah mana yang bernama begal?
Magrib sudah lama lewat. Suasana parkiran mulai sepi. Yang tersisa tinggal sebuah motor perak yang tak asing buatku. Itu motor milik Zona, tak salah lagi. Benar saja, sepersekian menit kemudian Zona keluar dengan tergopoh-gopoh. Tiba-tiba ide jahilku muncul. Sudah berapa lamakah aku mencukupkan diri nongkrong di sekitaran sini? Lima tahun? Sepuluh tahun? Berjalan-jalan ke daerah baru sepertinya menyegarkan. Semua orang butuh refreshing, bukankah?
Belum-belum aku sudah nyengir membayangkannya.
Satu detik berikutnya aku sudah duduk di jok belakang. Mudah-mudahan beratku tidak menyusahkannya. Hehehe. Begitu Zona menginjak pedal starter, mesin mengeluarkan suara deruman bak auman bak auman raja hutan yang baru dilantik: gagah dan sombong. Motor perak yang membawa kami meluncur mulus. Angin mengibas-ibaskan rambutku. Waaaaah! Pantas saja bibi WC kemarin sumringah betul pulang ‘menempel’ pada seorang pemuda.
Namun, kebahagiaanku terusik. Tetiba saja kesunyian malam terbelah teriakan kasar dari antah berantah, “WOY! LU BERENTI WOY!”
 Ada dua pasang lelaki bermotor di belakangku. Masing-masing berusaha menyalip ke kanan dan kiri Zona, berniat memepet rupanya. Mereka yang dibonceng berteriak sambil mengacung-ngacungkan samurai ke arah kami.
“BERHENTI GAK LO SEBELUM GUE TEBAS!”
Seketika itu Zona panik, ia komat-komit tak jelas. Satu motor berhasil menyalip dari sebelah kiri dan berusaha menendang knalpot. Aku mulai naik pitam.
Maka kutiup keras-keras angin selatan, sekonyong-konyong kedua motor yang mengejar kami tadi bertubrukan, “BRUKKKKK!”  Pastinya tidak masuk akal bagi mereka. Biar saja. Sialnya, Zona yang tengah ngebut berusaha sampai pada belokan di depan kaget luar biasa dan justru turut mengerem mendadak. Kami hilang keseimbangan dan jatuh terjerembab.

Zona pingsan, aku tanpa kesulitan spontan terbang. Harus kuselamatkan anak ini, bagaimanapun caranya.. harus! Mungkin itulah maksud banner yang dipajang di kampus kemarin, ‘Solidaritas tanpa batas.

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)