Setelah beberapa hari terlewati tanpa momen mengobrol santai dengan
suami -dikarenakan hecticnya jadwal si mas- akhirnya hari ini dapat juga momen
untuk coba-coba mengaplikasikan komunikasi produktif. Oya, sejak pagi saya
sudah melancarkan ‘aksi berlemah lembut’ pada si mas supaya mood-nya bagus.
Sekitar jam setengah 8 pagi seperti biasa Haura menjalani sunbathing di depan mesjid sebelum
akhirnya mandi pagi. Karena alasan gejala pilek yang dirasa (di rumah ibu
hampir 25% populasinya terkena flu) dan rasa nyeri di jahitan sudah mulai tidak
mengganggu, saya turut serta mas jemur jemur si bayik.
Di teras masjid, mas membuka pakaian Haura agar kulitnya
terpapar sinar matahari…
S: “Mas, soal ke Solo itu gimana?”
Jadi, kemarin saya sudah sempat menyenggol pembahasan itu via
chat, tapi namanya juga di sela sela pekerjaan jawaban mas waktu itu menurut
saya kurang clear. Ketika berkunjung beberapa
hari lalu ibu mertua mengajak kami liburan keluarga akhir Desember nanti ke
Solo, jelas membawa si bayik merah ini dan kemungkinan besar perjalanan jalur
darat. Waktu itu demi kesopanan saya membuat jawaban diplomatis, ‘Fathia terserah mas, mi (Umi-red), dan
melihat kondisi dulu apakah sudah pulih dan si dedek sudah bisa dibawa
perjalanan jauh’. Waktu itu saya naik kasur, jalan kaki pun meringis, boro
boro ingin jalan jalan. Sebetulnya semasa hamil, ketika saya dan mas merencanakan
liburan tahun depan, syarat yang kami jadikan pertimbangkan adalah si dedek
bayi minimal sudah berusia 5 bulan, artinya sekitar bulan Maret 2018 ke atas. Bukan
apa-apa kekhawatiran orang tua baru atas bayinya yang masih rentan drop.
M: “Ya nunggu Haura
besaran aja.” Meskipun tidak merespon semuanya sepertinya argumenku di chat beliau baca habis. Komunikasi tidak
produktif saya waktu itu dilancarkan pasca melihat kondisi Haura yang ikut kontrol
ke RS dan menunggu di dalam mobil ketika Eninnya belanja di pasar. Bayi
seminggu itu kelihatan tidak nyaman dengan pospaknya, terlebih belakangan Haura
jadi sering tersedak air susu.
S: “Iya mas aku sebetulnya pingin liburan juga, apalagi ke
Solo aku nggak pernah. Tapi kalau Desember banget aku khawatir si eneng kenapa-napa.
Aku kasihan melihat dia gak nyaman berlama lama di dalam mobil, kegerahan,
keselek, popoknya panas (kami tidak biasakan berlama lama menggunakan pospak),
dan Solo itu lebih jauh dari Brebes, kebayangan deh rewelnya nanti di jalan. Kita
juga yang repot nanti”
M: *Mengangguk* “Tapi aku akan tetap ambil cuti akhir tahun.”
S: “Iya aku setuju banget kamu ambil jatah cutinya. Kalaupun
mau jalan-jalan kita bisa cari tempat yang deket deket aja.” Mas melihatku
sebentar lalu kembali sibuk dengan Haura.
“Oya mas anak kita mau divaksin apa engga? Aku sih biasa aja
bukan yang terlalu pro bukan juga yang anti vaksin.”
M: “Sama aku juga biasa aja.” Saya membaca wajah mas, ahli IT
yang memang akan menyerahkan padaku kalau sudah nyerempet perkara medis atau kesehatan.
S: “Nah kalau Haura mau divaksin, menjelangnya harus fit.
Kalau bisa 1-2hari sebelum jadwal imunisasi kita ga ajak dia pergi pergi yang
capek. Tahu kan mas yang di berita berita itu, ada anak abis vaksin polio eh
malah jadi lumpuh, atau setelah divaksin anu eh malah jadi sakit bahkan cacat
permanen. Ya karena vaksin itu bibit penyakit yang dilemahkan dengan tujuan supaya
imun kita kenal, jadi diharapkan ketika nanti diserang sama penyakit serupa imun
kita sudah tau cara ngatasinnya. Tapi itu kalau ketemu imun yang lagi bagus
kondisinya, anaknya lagi sehat. Kalau lagi kurang fit yah yang ada kita ngasih
bibit penyakit akhirnya anaknya malah jadi sakit. “ Mas tampak menyimak sambil
membalikkan posisi Haura yang berjemur telentang menjadi telungkup.
S: “ Desember itu banyak jadwal vaksinasi. Jadi kita mau
Haura divaksin lengkap atau engga, Mas?”
M: “Yaudah..”
S: “Yaudah..berarti nanti liat liat juga kalau mau bawa dedek
pergi pergi. Jangan mendekati jadwal vaksin..”
M: *Mengangguk* “Bukannya gamau
jalan jalan ya dek, tapi waktunya belum tepat~” Mas berbicara pada si bayik
yang merem menikmati sinar matahari ke tubuhnya.
Tantangan hari pertama ini buat saya susah susah gampang. Susahnya
karena saya mesti mengingat ingat indikator apa saja yang mesti dikeluarkan
ketika berbicara supaya ide diterima, padahal kalau udah nyerocos kan bawaannya
pingin semua -semua dibeberkan. Pastinya belum sempurna seperti saya yang masih
mendominasi pembicaraan, dan kontak mata yang terjadi tapi tidak sepanjang pembicaraan berlangsung. Semoga ke depannya semakin baik. Bismillah, semangat Bunda
Profesional!!
#Tantangan10Hari
#FathiaArifaH
#Level1
#HariKe1
#KuliahBunSayIIP
#KomunikasiProduktif
0 komentar:
Berikan komentar kamu :)