Well, sedikit banyak yang saya
rasakan perubahannya adalah soal cara pandang. Untuk kali ini saya mau
membeberkan salah satu aja, yaitu soal amanah.
Dulu, terutama di SMA sejujurnya
saya menganggap amanah amatlah sepele. Apakah saya tidak tau bahwa tiap kita
akan dimintai pertanggungjawaban? Of course, I knew. Tapi tetaplah saya kala
itu seringkali berpandangan ‘orang yang
keren itu ga pernah keliatan sungguh-sungguh tapi hasilnya bagus’. Aneh banget
kan? Tapi itulah yang terjadi, jadi nyaris selalu saya membiasakan diri tidak
perlu merencanakan sesuatu dengan ‘terlalu serius, terlalu sungguh-sungguh. Selow
aja~’.
Hasilnya? Well, ada beberapa yang
berjalan mulus, tapi kebanyakan adalah gatot! Kena semprot guru, karena ga
mempersiapkan sesuatu yang saya bawahi dengan baik, saya terlalu mudah percaya
dengan kesanggupan orang, ga pernah terpikir Plan B-C lalala ‘Selow~’. Pengecualian
kalau amanah tersebut memang hanyalah saya seorang yang menangggung dan
berdampak besar, misalnya dulu seperti menjadi bendahara Rohis, menjadi humor
pribadi kalau ingat saya taruh semua uang kas rohis yang sekitar 7jutaan dalam
bentuk receh beramplop amplop dalam lemari baju, soalnya waktu itu belum
ada satupun dari BPH yang punya KTP. Haha.
Atau menjadi satu-satunya anggota di
divisi psdm rohis, saya bertanggungjawab menyiapkan semua program divisi sendirian
dibantu kedua kadiv (akhwat dan ikhwan), karena ya siapa lagi? Tapi memang
itulah semestinya seorang pemegang amanah: total, ya kan?
Seperti habit-habit lainnya, lama kelamaan
tentu kitalah yang akhirnya dikendalikan kebiasaan itu dan sulit sekali
dipisahkan. Maka imej yang melekat pada saya adalah tidak profesional. Saya
waktu itu sama sekali ga merasa terganggu, justru nyaman. Tidak pernah ada
amanah yang amat penting-besar-genting-formal (kecuali dua tadi dan beberapa
lainnya) yg saya pikul lagi, ga ada yang perlu saya pusing-pusing pikirkan lagi.
Kebanyakan yah yang kecil-kecil aja mudah mudah aja anggapan saya.Parahnya hal
ini bikin jadi sering terpikir: ah gapapalah saya telat atau ga datang rapat, bukan
orang penting ini di acara itu. -.- ketika saya sadari habits ‘ga mau repot’
ini ternyata membuahkan hasil : Fathia amatlah kurang pengalaman terutama untuk
suatu yang kompleks dan formal. Sempet terlintas penyesalan kenapa dulu ketika
ada peluang masuk OSIS malah nolak dengan bangganya.. (kemudian seorang sahabat
langsung mengingatkan ‘semua pasti ada hikmahnya Fath, gausah disesali’)
Ada satu sisi lain yang amat
memalukan, tapi saya rasa mayoritas orang saat ini pun punya pandangan ini: jabatan
adalah suatu prestise. Gampangnya gini, pernah bertemu seorang ketua osis? Atau
apa sih yang kamu bayangkan tentang presiden mahasiswa?rektor? ‘Wah’ ‘Keren’
adalah beberapa kata yang mungkin terlontar bersamaan dengan decak kagum. Nah
inilah kita, sobat. Sistem kapitalis bikin pemikiran-pemikiran sesat dan ga Islami
merangsek masuk kepala kita. Hasilnya? Lazim banget orang-orang rebutan
jabatan. Padahal aslinya dalam Islam, sahabat mana sih yang berebutan pengen
jadi pemimpin sebagai pengganti Rasulullah?ga ada! Semua orang merasa enggan
karena menyadari beratnya pertanggungjawaban itu. Ahirnya ketika pun terpilih
dia amat berhati-hati, dia betul-betul amanah. Politik dalam Islam begitu
mulia, karena artinya melayani urusan umat, jadi pelayan tau kan? Bukan seperti
kata Gie,’Politik tai kucing’ karena politik yang ia maksud ya dalam sistem
macam sekarang, orang sikut-sikutan demi kekuasaan sebab dengan menjadi
politisi-pemerintah melekat pulalah segala kemudahan hidup.
Ketika memasuki dunia kampus saya
bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, lebih optimal, lebih manfaat
buat orang lain. Lagi-lagi terpaksa saya sebut Adzkia Salima di tulisan saya haha,
kakak yang satu ini dengan bernafsu bilang,’pokonya fath lo harus jadi RT!
Eh ga, jadi Lurah!’ dan emang udah
bawaan orok saya orangnya nekat plus gatau malu sekaligus taat (alah
nambah-nambahin biar ada bagusnya aja) jadilah yang tadinya ga minat malah nekat daftar di
akhir-akhir deadline. Niat saya sederhana banget, pengen berubah lebih baik,
mungkin dengan tersibukkan bantu orang habit saya bisa diubah. Visi-misi lalala
bahkan dibantu mba adz banget, saya iyain aja karena ga biasa bikin yg formal
formal. (parah haha) saya fokus bikin essay dan menuhi syarat-syarat lainnya. Dan
akhirnya adalah…jeng jeng jeng. lolos seleksi berkas dan diwajibin kampaye di
gedung asrama. MALU, MINDER. Jujur itu yang terpikir. Apalagi setelah kenal dua
calon lainnya: Febi dan Tika. Mereka kelihatan berpengalaman dan didukung penuh
sama lorongnya, lah saya? ngobrol ngobrol aja belum sama temen-temen, kan
koplak. Kemudian saya pulang ke rumah dan cerita ke ibu, tanpa disangka sangka
ibu malah bilang,’hem. Berat tuh. Bakal jarang pulang’ dari raut mukanya jelas
banget ga setuju.
Nah loh.
Dan sejak saat itu saya jadi setengah-setengah (bukan
manusia jadi-jadian maksudnya) apalagi setelah tau jadi lurah ga boleh ikutan
ukm lain lain, padahal temen-temen lorong pada bantuin. Belakangan saya tau
beberapa orang yang cukup lama kenal menertawakan kenekatan saya, gatau diri
mungkin pikir mereka. Kemudian dengan
mantap saya putusin satu hal ke Nuri, temen yang lucu dan baik banget nih
orang,’Nur pokonya doain gue kalah dengan terhormat ya.’ Doa macam apa itu? -_-
Kamu tau apa hasilnya?
Bener banget
emang ridho Allah tergantung ridho ortu, dan saya sadari kemampuan juga harus
ada buat jadi pemimpin. Yep, sesuai prediksi Febi jadi lurahnya. Dia bener-bener
amanah sampe masa jabatannya beres, anak-anak di lorongku suka cerita. Ada hal
yang mengharukan pas beres pemilihan lurah, saya saking senengnya nyaris lonjak
lonjak langsung sms Khadijah yang beda gedung asrama. Khadijah langsung bales,’Selamat ya Fathia! Kamu udah
dapet pengalaman baruuuu! Tapi kamu ga apa apa kan?’ ‘Demi Allah jah, aku
bahagia.’ Jawabku sumringah. Pernah diselamatin karena udah berani nyoba suatu
hal meski gagal? :D Itulah kerennya dije.
dan nah, gimana dengan sekarang?katanya
ada perubahan cara pandang?
Iya, sekarang saya mencoba tanam
dalam dalam konsep kepemimpinan Islam. Bahwa jabatan bukanlah prestasi, makin
tinggi jabatan makin makin tinggi gengsinya. Naudzubillah deh semoga
dijauhkan dari perasaan macam itu. Mudah-mudahan dapet kesempatan belajar
menaklukan ‘something formal, something
complicated’ dengan niat tulus karena Allah, bukan sekedar karena gharizah baqa (naluri untuk pengen
diakui).
Salam.
0 komentar:
Berikan komentar kamu :)