AMANAH

Tahun ini in shaa Allah adalah tahun ke-20 kehidupan seorang Fathia. Ada banyak sekali perubahan yang saya rasakan atau orang lain rasakan terhadap saya. Saya pribadi menganggapnya sedikit lebih baik dibanding saat pertama kali menginjak perkuliahan, tapi entah bagi sebagian yang lain mungkin saya justru menjadi lebih buruk? Who knows?

Well, sedikit banyak yang saya rasakan perubahannya adalah soal cara pandang. Untuk kali ini saya mau membeberkan salah satu aja, yaitu soal amanah.


Dulu, terutama di SMA sejujurnya saya menganggap amanah amatlah sepele. Apakah saya tidak tau bahwa tiap kita akan dimintai pertanggungjawaban? Of course, I knew. Tapi tetaplah saya kala itu seringkali berpandangan ‘orang yang keren itu ga pernah keliatan sungguh-sungguh tapi hasilnya bagus’. Aneh banget kan? Tapi itulah yang terjadi, jadi nyaris selalu saya membiasakan diri tidak perlu merencanakan sesuatu dengan ‘terlalu serius, terlalu sungguh-sungguh. Selow aja~’.


Hasilnya? Well, ada beberapa yang berjalan mulus, tapi kebanyakan adalah gatot! Kena semprot guru, karena ga mempersiapkan sesuatu yang saya bawahi dengan baik, saya terlalu mudah percaya dengan kesanggupan orang, ga pernah terpikir Plan B-C lalala ‘Selow~’. Pengecualian kalau amanah tersebut memang hanyalah saya seorang yang menangggung dan berdampak besar, misalnya dulu seperti menjadi bendahara Rohis, menjadi humor pribadi kalau ingat saya taruh semua uang kas rohis yang sekitar 7jutaan dalam bentuk receh beramplop amplop dalam lemari baju, soalnya waktu itu belum ada satupun dari BPH yang punya KTP. Haha. 
Atau menjadi satu-satunya anggota di divisi psdm rohis, saya bertanggungjawab menyiapkan semua program divisi sendirian dibantu kedua kadiv (akhwat dan ikhwan), karena ya siapa lagi? Tapi memang itulah semestinya seorang pemegang amanah: total, ya kan?

  
Seperti habit-habit lainnya, lama kelamaan tentu kitalah yang akhirnya dikendalikan kebiasaan itu dan sulit sekali dipisahkan. Maka imej yang melekat pada saya adalah tidak profesional. Saya waktu itu sama sekali ga merasa terganggu, justru nyaman. Tidak pernah ada amanah yang amat penting-besar-genting-formal (kecuali dua tadi dan beberapa lainnya) yg saya pikul lagi, ga ada yang perlu saya pusing-pusing pikirkan lagi. Kebanyakan yah yang kecil-kecil aja mudah mudah aja anggapan saya.Parahnya hal ini bikin jadi sering terpikir: ah gapapalah saya telat atau ga datang rapat, bukan orang penting ini di acara itu. -.- ketika saya sadari habits ‘ga mau repot’ ini ternyata membuahkan hasil : Fathia amatlah kurang pengalaman terutama untuk suatu yang kompleks dan formal. Sempet terlintas penyesalan kenapa dulu ketika ada peluang masuk OSIS malah nolak dengan bangganya.. (kemudian seorang sahabat langsung mengingatkan ‘semua pasti ada hikmahnya Fath, gausah disesali’)


Ada satu sisi lain yang amat memalukan, tapi saya rasa mayoritas orang saat ini pun punya pandangan ini: jabatan adalah suatu prestise. Gampangnya gini, pernah bertemu seorang ketua osis? Atau apa sih yang kamu bayangkan tentang presiden mahasiswa?rektor? ‘Wah’ ‘Keren’ adalah beberapa kata yang mungkin terlontar bersamaan dengan decak kagum. Nah inilah kita, sobat. Sistem kapitalis bikin pemikiran-pemikiran sesat dan ga Islami merangsek masuk kepala kita. Hasilnya? Lazim banget orang-orang rebutan jabatan. Padahal aslinya dalam Islam, sahabat mana sih yang berebutan pengen jadi pemimpin sebagai pengganti Rasulullah?ga ada! Semua orang merasa enggan karena menyadari beratnya pertanggungjawaban itu. Ahirnya ketika pun terpilih dia amat berhati-hati, dia betul-betul amanah. Politik dalam Islam begitu mulia, karena artinya melayani urusan umat, jadi pelayan tau kan? Bukan seperti kata Gie,’Politik tai kucing’ karena politik yang ia maksud ya dalam sistem macam sekarang, orang sikut-sikutan demi kekuasaan sebab dengan menjadi politisi-pemerintah melekat pulalah segala kemudahan hidup.


Ketika memasuki dunia kampus saya bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, lebih optimal, lebih manfaat buat orang lain. Lagi-lagi terpaksa saya sebut Adzkia Salima di tulisan saya haha, kakak yang satu ini dengan bernafsu bilang,’pokonya fath lo harus jadi RT! Eh ga, jadi Lurah!’  dan emang udah bawaan orok saya orangnya nekat plus gatau malu sekaligus taat (alah nambah-nambahin biar ada bagusnya aja) jadilah yang tadinya ga minat malah nekat daftar di akhir-akhir deadline. Niat saya sederhana banget, pengen berubah lebih baik, mungkin dengan tersibukkan bantu orang habit saya bisa diubah. Visi-misi lalala bahkan dibantu mba adz banget, saya iyain aja karena ga biasa bikin yg formal formal. (parah haha) saya fokus bikin essay dan menuhi syarat-syarat lainnya. Dan akhirnya adalah…jeng jeng jeng. lolos seleksi berkas dan diwajibin kampaye di gedung asrama. MALU, MINDER. Jujur itu yang terpikir. Apalagi setelah kenal dua calon lainnya: Febi dan Tika. Mereka kelihatan berpengalaman dan didukung penuh sama lorongnya, lah saya? ngobrol ngobrol aja belum sama temen-temen, kan koplak. Kemudian saya pulang ke rumah dan cerita ke ibu, tanpa disangka sangka ibu malah bilang,’hem. Berat tuh. Bakal jarang pulang’ dari raut mukanya jelas banget ga setuju. 
Nah loh.
Dan sejak saat itu saya jadi setengah-setengah (bukan manusia jadi-jadian maksudnya) apalagi setelah tau jadi lurah ga boleh ikutan ukm lain lain, padahal temen-temen lorong pada bantuin. Belakangan saya tau beberapa orang yang cukup lama kenal menertawakan kenekatan saya, gatau diri mungkin pikir mereka.  Kemudian dengan mantap saya putusin satu hal ke Nuri, temen yang lucu dan baik banget nih orang,’Nur pokonya doain gue kalah dengan terhormat ya.’ Doa macam apa itu? -_-


Kamu tau apa hasilnya?

Bener banget emang ridho Allah tergantung ridho ortu, dan saya sadari kemampuan juga harus ada buat jadi pemimpin. Yep, sesuai prediksi Febi jadi lurahnya. Dia bener-bener amanah sampe masa jabatannya beres, anak-anak di lorongku suka cerita. Ada hal yang mengharukan pas beres pemilihan lurah, saya saking senengnya nyaris lonjak lonjak langsung sms Khadijah yang beda gedung asrama. Khadijah langsung bales,’Selamat ya Fathia! Kamu udah dapet pengalaman baruuuu! Tapi kamu ga apa apa kan?’ ‘Demi Allah jah, aku bahagia.’ Jawabku sumringah. Pernah diselamatin karena udah berani nyoba suatu hal meski gagal? :D Itulah kerennya dije. 


dan nah, gimana dengan sekarang?katanya ada perubahan cara pandang?

Iya, sekarang saya mencoba tanam dalam dalam konsep kepemimpinan Islam. Bahwa jabatan bukanlah prestasi, makin tinggi jabatan makin makin tinggi gengsinya. Naudzubillah deh semoga dijauhkan dari perasaan macam itu. Mudah-mudahan dapet kesempatan belajar menaklukan ‘something formal, something complicated’ dengan niat tulus karena Allah, bukan sekedar karena gharizah baqa (naluri untuk pengen diakui).


Salam.

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)