Ketika hutang pada Bu Juju dilunasi



Picture's source: google did it. hehe
Sebenarnya sudah cukup lama saya terpikirkan membuat tulisan mengenai ini, tapi karena satu dan lain hal tertunda dan terlupa justru yang terjadi. STOP bahasa lu kaku banget fath, aih itulah makanya jangan nulis laporan doang dong -___-#OkayThisAbsurdSideComeToTheSurface
Namanya Bu Juju. Nama lengkapnya, maafkan, saya benar-benar tidak ingat. Beliau adalah guru sejarah di SMAN 5 Bogor. Beliau terkenal dengan nada bicaranya yang tegas pun ga main-main dalam bertanya, ketika kamu berpendapat ya harus tuntas-jelas ga asal bunyi,’Berdasarkan apa kamu ngomong? Buku apa? Halaman berapa?’ Bu Juju bak jaksa yang terus menyudutkanmu sampai akhir : menyerah dan kena semprot atau sebaliknya membuatnya mengangguk-angguk. Seperti kebanyakan anak muda kekinian yang biasa menghadiri kelas dengan kepala kosong dan bersenjatakan lidah lulusan perguruan silat, tipikal guru macam itu benar-benar mimpi buruk. “Berdasarkan buku apa-halaman berapa?” Matilah!
Maka bukan berita aneh banyak siswa yang merasa kedamaiannya terganggu dengan pelajaran Sejarah, semuanya siap siaga tegak buka buku ketika beliau masuk kelas. Dugun Dugun, khawatir namanya disebut-sebut untuk membahas soal dan menjelaskannya. Sebenarnya setelah sekarang kita beranjak jadi mahasiswa, kondisi saat itu terasa konyol dan sepele sekali. Jelas saja, referensi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan adalah keharusan bagi mahasiswa, seperti halnya minum dan makan setiap hari. Tapi sekali lagi, sebentar saja coba kita pahami rasanya saat menjadi siswa SMA kala itu. Referensi untuk sepenggal pernyataan yang diucap? aih merepotkan betul!
Bagi saya pribadi, takdir bahwa Bu Juju mengajar di kelas kami dapat dipandang bagus sekali. Khusus pelajaran sejarah semua anak jadi rajin, ya rajin mengerjakan tugas plus baca-baca materi ditandai pula dengan stabilo ‘halaman ini, paragraf ini jawaban soal nomor sekian’ ataupun jadi rajin menyontek tugas temannya yang mengrajin tersebut. Yang pasti ketika pelajaran dimulai kami semua siap dengan buku tercorat-coret sambil kembang-kempis,’ditanya? siapa takut!!’.
Saya sejujurnya amat takjub dan segan terhadap beliau akibat sifatnya yang satu: menerima kritikan dan menghargai bahkan kelihatan sumringah mendengar pendapat muridnya yang berseberangan ide. Pasalnya, terlalu banyak saya dapati guru yang tidak terima atau bermuka masam ketika dialamatkan ide yang berbeda dengan yang beliau ajarkan. Sekali lagi, kawan, kala itu saya begitu belia dan polos -haha- buat saya mau tua ataukah muda, apapun statusnya, kebenaranlah yang pantas disebut sebut, hal bengkok harus diluruskan. Dan kala itu benar-benar saya tidak pedulikan pengemasan dalam penyampaian kebenaran itu. Yah you know-lah maksudnya. J

“Kenapa sih Fathia? Apa yang salah dengan demokrasi?”
Satu pertanyaan berulang tiap kami berjumpa sebagai guru dan murid di dalam kelas. Tersebabkan saya tiada biasa berdiskusi maka jadilah jawaban saya melebar kesana kemari, dimulai dengan permintaan maaf pada kawan-kawan, menjelaskan kapitalisme sebagai ideologi dst lalalala kemudian ,”Stop! Bakalan ga ada habisnya bicarakan ini. Nanti saja ya fathia“ Ucap beliau senyum-senyum tepat ketika saya baru akan membuka mulut terkait poin demokrasi. Dan kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang -___-
Maka inilah bocoran pelunasan hutang saya pada Bu Juju, guru saya yang luarbiasa. Saya ingin jelaskan sekelumit saja dari banyak alasan untuk menolak demokrasi.
Apa yang salah dengan demokrasi? Bukannya islami?
Yang salah? Semuanya.
Sendari akarnya pun salah.
Pertama, telah jelas demokrasi bukanlah berasal dari Islam. Demokrasi bukanlah melulu pemilu atau musyawarah, itu hanyalah perkara teknis yang jelas tiada pelarangan dalam Islam, agama kita yang sempurna ini. Tapi esensi dari demokrasi itu sendiri apa?
Suatu asas yang bila tidak ada, tidak mungkin disebut demokrasi : kedaulatan di tangan rakyat, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Well apa yang salah?
Di sinilah titik kritisnya, ketika kedaulatan=sumber kekuasaan tertinggi sudah dipegang oleh rakyat yang tak lain merupakan manusia yang serba berkekurangan, itulah sumber masalah. Dalam demokrasi, manusia dijadikan penentu mana yang benar-mana yang salah, membuat hukum bagi kehidupannya sendiri. Dan hal ini sama sekali bukan Islam. Dalam Islam, perkara membuat hukum, sumber kekuasaan tertinggi ada pada hukum syara yang tak lain Allah SWT saja yang berhak tentukan. Perkara teknis dan administrasi semacam strategi ataupun teknologi, selama tidak bertentangan dengan hukum syara disitulah letak kreatifitas kita sebagai manusia. Sebab  memang dalam sebuah hadist dikatakan Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam  menjawab pertanyaan sahabat dengan ‘kalian yang lebih mengetahui urusan dunia’ tapi yang beliau maksud saat itu soal perkara teknis, macam mempersilakan saya buat menghitung kebutuhan gizi pergunakan Rumus Brocca atau Harris Benedict, mau manual atau gunakan aplikasi terserah pada saya. Jadi, bukannya jadi dasar kebolehan berlaku sekuler (dunia=aturan kita, ibadah=aturan Allah).
Ada yang menyamakan demokrasi dengan Islam karena satu aktivitas, musyawarah, syuro. Padahal kenyataannya syuro dalam Islam dan ‘syuro’ dalam demokrasi sama sekali berbeda. Silakan pikirkan baik-baik, di alam demokrasi semua hal boleh dimusyawarahkan, ys kan?
Apakah sebaiknya dibuat lokalisasi supaya tidak ada prostitusi terselubung? Apakah sebaiknya minuman beralkohol dilegalkan saja, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu supaya tidak ada yang mengoplos sampai kemudian mati? Apakah polwan boleh pake kerudung?”
Itulah demokrasi segala hal yang sudah eksplisit binti jelas hukumnya, masih juga dimusyawahkan. Berbeda dengan itu, musyawarah dalam Islam dilakukan saat menentukan apa apa yang hukumnya mubah, seperti strategi terbaik, perkara teknis. Bukannya menawar-nawar yang wajib dengan yang haram.
Selama sistem yang kita gunakan berasal dari manusia, maka jangan aneh kalau kebenaran jadi dianggap relatif, ya karena manusia itu beda-beda… Di Belanda misalnya, mengonsumsi narkoba di café legal-legal aja tapi hal itu ga berlaku di Indonesia dan kebanyakan negara lain. Atau kebiasaan samen laven alias kohibitasi alias kumpul kebo di negeri-negeri Barat yang dianggap biasa, tidak biasa bahkan tercela buat masyarakat kita.
Demokrasi juga menghitung kebenaran dari jumlah kepala bukan isi kepala. Kepala professor yang paham fakta akan dihitung satu, sama dengan isi kepala seorang preman yang mungkin tahu fakta saja tidak.
Kemudian..
Kemudian..
Ah, akan banyak sekali alasan buat memperjuangkan Islam dan meninggalkan demokrasi, sayangnya bakalan hilang fokus jika saya jabarkan semuanya hanya dalam satu artikel begini.
Jadi, alangkah baiknya kita lanjut lagi di artikel berikutnya. sampai sini, ada komentar? Silakaan tinggalkan pesanmu~ Semoga bermanfaat~ J

0 komentar:

Berikan komentar kamu :)