Surat untuk Anakku

Sebenarnya, anakku, ketika ibumu menulis nasihat ini pikirannya sibuk bertanya-jawab ,’layak ataukah tak mencontoh gaya sebuah cerpen lawas sebagai nasihat kepadamu?’ sebagian dirinya menjawab,’sungguh tak tahu malu!  Itulah yang orang bilang plagiat!’ sebagian lain dari Ibu menyalak tak kalah sengit,’mencontoh hal baik kan tiada dosa, heh! Copy from the master! Bukannya kau sendiri yang kehabisan akal memuntahkan pengalaman dan ide ke dalam sebuah karya, sedang si Tuan Motinggo ini terus-terusan kau puji gayanya sampaikan tema? - Ah sudahlah! dengan mengetik ini sama artinya Ibu telah memutuskan untuk menasihatimu dengan cara begini, mirip tidaknya kelak bisa kau perbandingkan. 

Anakku, ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini tentu keadaan telah banyak berubah. Barangkali macam film-film  fiksi ilmiah yang laku di bioskop tuwentiwan dan eks-ekswan jaman Ibu remaja? Apakah banyak mobil-mobil beterbangan? Sudahkah engkau temukan semacam plester yang bisa menghangatkan makanan seperti yang Ibu suka andai-andai saat tinggal di asrama? Barangkali dunia di sana telah amat pikuk dengan modernitas gedung-gedung indah pencakar langit dan bunga dandelion sudah hidup  di pot-pot dalam rumah kaca akibat terlalu langka, ya nak?

Hari dimana ibu menulis surat untukmu, anakku, sebenarnya bukanlah hari yang terlalu istimewa untuk Ibu. Bukanlah hari ilang tahun (Ibu baru akan berumur sembilan belas bulan Agustus nanti). Bukan pula hari jadi pernikahan Ayah dan Ibu. Ayahmu itu nak, saat Ibu menulis surat ini masih berupa rahasia Illahi dimana dan siapa. 

Pada waktu membaca surat ini barangkali engkau telah tumbuh meremaja (semoga menjadi penghapal dan pengamal Al-Qur’an). Ibu mestilah menjelaskan mengapa saat engkau kanak Ibu mengawasimu amat lekat, membiarkanmu meronta-ronta dibanding memberi izin televisi dalam kamarmu. Ibu rasa telah tiba waktunya engkau mengerti, bukan karena tak cukup kasihku padamu, tapi  tontonanmu-pergaulanmu ibu amat khawatiri. 

Kiranya seminggu kemarin, Ibu akhirnya memenuhi ajakan kawan untuk mengajar di sebuah desa. “Sekedar mengajar calistung, tak perlulah kau risau..!” Katanya padaku.  

Ibu biasanya beragendakan suatu acara di kampus setiap ahir pekan namun terkhusus hari itu dunia seolah merestui. Akhirnya kami berangkat ke daerah Cibanteng. Tak seberapa jauhnya dari kampus tapi kampung di sana punyakan mushola pun amatlah buruk tampilannya. Karpet-karpet tipis dan perlak tumpang tindih tak serasi, karton-karton gambar buah-buahan dan huruf ditempel sembarangan, bau apek menyeruak ke sesudut. Jelas sedikit orang yang perhatikan kerapiannya, batin Ibu.

Di sana ibu terheran-heran menonton beberapa anak lelaki dengan pakaian lusuh dan celana robek hingga ke pangkal paha. Mereka berguling, saling tindih, seret-menyeret, dan belum mandi. Melihatnya Ibu sedikit jengah, kau tahulah kadang-kadang bocah lelaki iseng apalagi dengan keadaan celana begitu. Pagi itu di kampung tengah ada hajatan, ‘resepsi pernikahan anak ketua RW’ kata orang-orang. Awalnya anak-anak yang datang menyambut kami berupa kerumunan namun ketika dentam-dentum khas  dangdut terdengar mereka bak tersihir, berlari-larian keluar mushola.

Yaah, ada hajatan si Entahlah..” Kata kawanku  melihat anak-anak yang tengah diperkenalkannya padaku dua-dua menghilang.

Kalau saya tidak salah dengar, kamu mengeluhkan resepsi orang lain?” tanyaku heran kepada si kawan. 

Di sini, Kawanku, kita bersaing dengan hajatan. Anak-anak rupanya begitu menggemari acara itu sampai hilang semangat belajarnya.”

Oh,pantas. Ibu mengangguk. Ada satu bocah ,anak perempuan, wajahnya tampak sekali belum mandi. Air liurnya mengering di sana-sini, rambut berantakannya sepanjang bahu dan yang paling menarik perhatianku adalah sejak datang dia tak pernah melepas tatapannya dariku. 

Ini siapa namanya?ayoo kita kenalan!” kataku mengulurkan tangan dan tersenyum. Ia diam. Anak-anak yang duduk mengitari kami bersorak-sorak,”Ita ka! Ita namanya!” “dia mah pernah ga naik kelas tau ka!” “ka itu tuh kakanya ka!(menunjuk satu anak lelaki yang tertawa-tawa menyeret bocah lain sepantarannya) bandel banget..”seruan anak-anak susul menyusul.

Oh, Ita. Ko nama kita sama?hahaha.” Ahirnya dia tersenyum bahkan tampak seperti ingin memelukku. “Ita kelas berapa?” 

“Kelas tiga.”

 Sepanjang Ibu bercerita pada yang lain, anak itu duduk di pangkuanku. Sesekali Ibu berkata padanya dengan nada bercanda,”Ita belum mandi yaa? Ih bauuu. Ayo mandi dulu biar tambah cantik kaka tungguin” Ibu tidak perhitungkan psikologi anak atau apalah. Dia tetap saja duduk dengan nyaman, Ita cuek saja walau badannya bau benar.

Anak-anak yang lain mulai lagi mencoba menarik perhatianku. Satu yang berjepit dan berbedak berkata,“Ka, Ka, si eta mah udah pernah ng*w* tau!” 

Eh ngomongnyaa. Suuut!” Ibu tersenyum ganjil. Bagaimana pun mereka anak-anak SD, tak sepantasnya berkata begitu. Ita kutatap, ia merunduk.

Di saung ka! Dia mah pernah ng*w*!” “Sama kakanya dikasih uang seribuu!” tiga-empat anak 8-9tahun itu tertawa-tawa padaku. Ibu menoleh pada Ita,”Bohong kan ya ta?suka pada bercanda deh..yuk kita main lagi aja!”

Ku aa disuruh.. ku bapa digebotan pan aana(oleh bapa dipukulin kan kakanya).” Tak disangka Ita menjawab.

 Aduh! Betapa kaget Ibu mendengarnya. Jikalau saja tidak ada kawanku yang duduk  di sana detik itu, pastinya Ibu gemetaran sambil membuang muka. Gusti, bocah kelas 3 SD! Anak itu!

Ibu merasa larutan buih yang biasa orang sebut galau itu tumpah ke seluruh tubuhku.  Galau kata yang ngetrend sekali saat Ibu menulis nasihat ini, nak. Galau sebab manusia-manusia sezaman Ibu menganggap pornografi ibarat keripik pedas yang bikin mencret-mencret tapi penggemarnya tetap banyak mengantri. Manusia-manusia sezaman Ibu banyak berkelakar pornografi itu hanya masalah si laki yang tak beradab dan terlalu bernafsu. Bapak-bapak pemerintah juga ahirnya cuma gerutu-gerutu sambil mengisap cerutu begitu kasus perkosaan dan pergaulan bebas terus melambungkan statistik . Prostitusi tetap legal, iklan dan acara tivi tetap vulgar. Perempuan-perempuan tambah bangga kaki jenjang mulus-rambut hitam bergerainya menyedot perhatian semua mata, hak untuk berekspresi katanya, tapi anehnya Nak, sinis pada perempuan yang memilih menutup semua keindahan itu. Pun negeri kita ini , Nak, demi titel bangsa berbudaya serta santun lokalisasi dan tempat hiburan malam ditutup saat bulan Ramadhan. Setelahnya? Tak tahulah.  Tipikal sistem yang tak paten.

Maka pada hari-hari setelah pertemuan itu Ibu mengadu pada Allah jika kelak engkau lahir Ibu berjanji mengusahakan lingkungan yang baik, tontonan yang tersortir, dan selusin kebiasaan baik yang menyibukkanmu. Akan tetapi, tetaplah negara yang berhukum dengan benar yang mampu memberi perlindungan holistik padamu, pada anak-anak sezaman denganmu. 

Tak mengapa meskipun engkau belum lahir pada hari Ibu sampaikan nasihat ini: jaga dirimu Nak, jaga matamu sebab mata adalah jendela akal. Jaga telingamu sebab apa yang terbanyak kau dengar tentukan perkataan manakah yang terlontar.  Karena biar Ibu tak melihat Allah melihat, biar Ibu menjagamu dari segala sisi celah-celah itu selalu ada. Percayalah, pornografi itu lebih merusak dibanding narkoba apalagi soda. Soda sebatas menjadi inhibitor kalsium lantas membuat tulangmu mudah keropos. Narkoba merusakkan paling sedikit tiga jenis syaraf otakmu (itu sudah buruk sekali) nah pornografi, Anakku, ia merusak sampai lima jenis syaraf otak! Parahnya lagi pornografi tak membuatmu merasa telah kecanduan, silent killer sebutlah begitu, ia mengeroposi ketaatanmu-agamamu, menguapkan hapalan-hapalan ayat Rabbmu. Nah, anakku semoga akhirnya engkau mengerti dan merelakan hati.

Eh, engkau masih mengerti gaya bahasa ibumu yang ketinggalan zaman ini kan, nak? Semoga begitu.

                                                                                                Salam sayang,


                                                                                                Ibumu.



6 comments:

  1. Keren banget dek ! kata-katanya seakan adek telah menjadi Ibu.. :)
    Semoga Semua orang terinspirasi,
    Visioner, berfikir jauh kedepan. Teteh belum kepikiran tuh buat surat buat anak teteh dimasa depan.
    Menginspirasi, kata-katanya mengalir! emang beda kalau udah jadi ahli kosa katanya banyak. Teteh masih sedikit nih, jadi tmbah semangat nulis.. huaaaa... jazakillah dek :D
    oh ya, insyaAllah kelak saat adek melahirkan seorang putra atau putri
    khilafah sudah tegak, sehingga tak ada lagi pornografi dan pornoaksi. Yang ada para ibu mempersiapkan anaknya untuk menjadi seorang mujahid. ummu wa rabatul bait :D
    pertanyaannya siapa suami nya? hehe becanda :D semangat dek, bagus banget ini teteh sampai menggebu2 nulis comentnya. hehe *jng byangin yaaa haha

    ReplyDelete
  2. nah sebenernya itu juga yg terpikir olehku teh, makanya tulisan ini ga beres beres. kejadiannya awal kita liburan, nama anaknya saya samarin. karena bingung juga nanti kan khilafah udah tegak jadi ga perlu khawatir haha,tapi nasihat kan ga salah disampaikan.
    iya teh semoga bermanfaat:)

    ReplyDelete
  3. Sangat menginspirasi ceritanya mba.
    Salam kenal, btw :)

    ReplyDelete
  4. terima kasih, semoga bermanfaat mba :)
    salam kenal juga :)

    ReplyDelete
  5. Saya belum pernah berpikir sampai sejauh ini sebelumnya. Terima kasih sudah mengantarkan kesana.
    Inspiring.

    Keep writing!

    ReplyDelete
  6. terima kasih apresiasinya :)
    @ejamakna

    ReplyDelete

Berikan komentar kamu :)