10 March 2013 at 22:04
Ehem.
Selayaknya pisau tumpul tak jumpa dengan asahannya itulah saya dengan
pena. Lama tak betegur sapa buat mengucurkan darah luka lewat
sastra(atau sekedar sok sastra) agak mirip badan yang pegal-pegal
sehabis olahraga, canggung. Cukup panjang waktu tak kita habiskan dengan
obrolan santai soal cinta, mungkinkah kamu akan kembali?
Padahal
saya ibarat suami yang lupa atas kewajibannya menafkahi istri serta
anaknya yang tujuh belas, sungguh dosa. Maka kamu, duhai istri, silakan
ambil saya-preteli hati saya, pilin arus pikiran saya buat makan anak
anak kita. Seduh ia beserta air kaldu buatanmu. Liurku sudah menggenang,
penantianmu pasti melelahkan.
“Ah, kamu berlebihan.. anak anak bukan zombie yang hobi memakan pensieve ayahnya sendiri” katamu.
“Tidak.
Ambilah! Renggutlah! Tuanglah tiap senti tubuh ini biar jadi bukti aku
telah kembali.” Wajahmu tersipu, betapa dosa-sungguh saya tinggalkan
kamu.
pena,
Duhai suami.. heheee.. :D bukan pena sekarang mah tapi laptop minta dipijit. keren banget dek ! semangat (^_^)
ReplyDeleteiya ya leptop hahaha biarlah biar klasik gitu kedengerannya. wah teh feli bisa paham, abi mah malah nasehatin baca ini teh hahaha dikira 'cinta' dsb itu bermakna denotatif :D
ReplyDeletehamasah mba!
Abi suka baca tulisanmu dek? wahhhhh kereeeennnn
ReplyDeleteawalnya tth fikir fathia galauuu, lg merah jambu. hehe